[Cerpen] Dua Puluh April Dua Ribu Dua Empat


Ketika trailer film “Dua Hati Biru” diluncurkan, obrolan kita sontak fokus ke sana dengan cepat. Awalnya kamu mengunggah cuplikan dengan caption sangat terkesan akan adegan UKS di film pendahulunya, dan aku, sepenuh hati, membalas: sepakat. Lantas seperti diskusi yang sudah-sudah, kita bergantian melempar kalimat dan beradu pendapat hingga kantuk menjerat. Hatiku melompat-lompat. Di ujung hari, memang tak ada agenda pamungkas paling tepat bagiku selain bicara denganmu sembari menanti kelopak mata melekat. Kadang kita bermufakat, dan ada kalanya juga berdebat. Namun untuk yang satu ini, kita punya satu suara bulat.

“Wajib banget ditonton, iya kan?”

Aku ingat mengangguk penuh semangat walaupun kamu tidak melihat. Di dalam kepalaku, skenario-skenario manis mulai mencuat. Otakku berkelana, membayangkan Sabtu, dua puluh April dua ribu dua empat, kita akan bersama menonton sekuel “Dua Garis Biru” itu di bioskop terdekat. Dan setelahnya, aku duduk menyimak kamu berceloteh tentang betapa imutnya Angga Yunanda sambil mengunyah udang rambutan yang lezat. Ah, indah sangat. Mungkin sesudah itu kita bisa pergi karaoke dulu untuk melepas penat, lalu pulang kala langit mulai pekat.

Begitulah rencananya, kuabadikan diam-diam di kertas sticky note biru muda dan dengan takzim kutempel di tembok bak jimat. Tiap melihatnya, sebuah gejolak hebat merambat.

Lalu tiba-tiba hari ini kalenderku telah sampai pada halaman baru berjudul dua puluh April dua ribu dua empat. Astaga, lekas sekali waktu terlewat. Pagiku dibuka dengan mengecek jadwal bioskop, dan ternyata ada dua jadwal tayang: siang pukul setengah satu dan sore pukul setengah empat.

Jemariku gemetar membuka kolom chat. Tinggal ketik, tapi rasanya begitu berat sehingga sampai pukul sebelas siang, tak ada satu kata pun yang berhasil kubuat. Setelah kupikir-pikir, mungkin sebaiknya aku ajak kamu menonton yang sore saja karena tampaknya aku butuh memupuk nyali dulu beberapa saat.

Sayangnya, tepat pukul dua belas lewat seperempat, sesuatu di balik tulang dadaku mendadak terasa perih seperti tersayat. Kamu mengunggah foto di story, berdua dengan seorang pemuda yang tak kukenal dengan pose memegang tiket bioskop lengkap disertai senyum hangat.

Ah, aku terlambat.

Semalaman penuh aku meringkuk layaknya orang sekarat dan karena tak kuat menahan kesumat, esok paginya aku sambat pada seorang sahabat. Di luar dugaan, bukannya memberi semangat atau semacam nasihat, dia malah memukul kepalaku sambil tak henti mengumpat.

Katanya, aku lelaki goblok tak ada obat.

Post a Comment

0 Comments