[Cerpen] Setiap Lewat Madiun



Aku masih ingat.


Suatu siang dalam rangkaian kereta Malioboro Ekspres menuju Yogyakarta, aku tidak memikirkan apa-apa namun saat tulisan "Madiun +63M" tertangkap oleh mata, tiba-tiba sudut tersembunyi dalam hatiku bertanya, "Ah, papan inikah yang kamu lihat tiap turun dari Matarmaja?"


Aku juga masih ingat. 


Suatu hari dalam rangkaian kereta Malabar menuju Bandung, aku tidak memikirkan apa-apa namun ketika dari speaker terdengar "Madiun", sudut tersembunyi yang sama lagi-lagi bertanya, "Ah, pengumuman seperti inikah yang membuatmu bangkit bersiap turun lalu meraih ransel berisi bekal sambal goreng tempe kering--buatan ibumu--di rak bagasi atas?"


Aku selalu ingat.


Suatu malam dalam rangkaian kereta Majapahit menuju Semarang, aku tidak memikirkan apa-apa namun saat mendengar penumpang sebelah menelepon kerabatnya dan menyebutkan bahwa kereta hampir sampai di Madiun, sudut hati nan konyol itu kembali menduga-duga, "Apakah biasanya kamu juga menelepon seseorang untuk menjemput lalu mengantarmu ke tempat kos?


Selalu begitu. Selama bertahun-tahun, setiap aku lewat Madiun. Tapi tentu saja tak lagi benar bagiku untuk betulan bertanya, 'kan? 


Lalu hari ini sedikit istimewa, karena aku tak cuma lewat. Kakiku benar-benar menjejak peron jalur 3 di Stasiun Madiun, mengawali kunjungan pendek di kota yang mulai akrab di telingaku sejak aku iseng ikut latihan pencak silat di SMP itu, dan kian akrab lagi sejak buku hidupku di bab yang bertajuk namamu terbuka pada halaman tentang kepergian.


Hari ini, aku turun di Madiun namun anehnya justru tak tebersit pertanyaan apa pun. Lengking panjang peluit kondektur Kereta Api Brantas, roda-roda besi yang kembali berputar melanjutkan perjalanan, dan kaki langit berhias semburat jingga sebagai latar belakang harusnya cukup ampuh untuk membuatku termangu barang sejenak, tapi aku sungguh tidak merasakan sensasi berbeda. Tidak terasa desir familiar menahun itu, tak ada pula setitik kesedihan maupun kerinduan. Sambil menyusuri lorong menuju gerbang keluar stasiun, perlahan aku bahkan merasakan ujung bibirku naik sedikit di luar keinginan, seperti tengah geli mengenang memori tentang komedi paling tidak menarik yang pernah ada di muka bumi.


Komedi dengan skenario absurd yang bermuara pada akhir kisah kita.


Ke mana lenyapnya pertanyaan-pertanyaan itu? Ke mana hilangnya pikiran-pikiran tentang dirimu? Sudut tersembunyi nan tolol itu sudah tergusur habis, ya, rupanya?


Jadi, ternyata benar kata orang. Waktu bisa mengubah segalanya, termasuk rasa.


-END


Madiun, 5 Juli 2023.

Post a Comment

2 Comments

  1. Short but beautiful, I love the way you string words together. More stories, please 😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank you very much. Your comment made my day. It means a lot. :)

      Delete