IT’S RAINY INSIDE
“Saya tahu itu teru-teru bozu. Untuk apa?”
“Untuk mengusir hujan.”
“Astaga, Dirga. Saya juga tahu itu. Tapi tidak ada hujan di bulan Juli.”
“Betul,
Laoshi. Tapi selalu ada hujan badai... di dalam sini.”
Jika Li Yanjie ditanya apa hal yang paling mengesalkan di
dunia ini, ia tidak punya pilihan lain kecuali memberikan jawaban “Dirga”. Ya,
benar. Nyaris satu tahun menghilang tanpa kabar apa-apa, ternyata pemuda yang
sempat menjadi murid bimbingannya itu berada di sini.
Di sebuah apartemen studio di wilayah padat penduduk jauh
di pinggiran Tokyo!
Dan sekarang pemuda berambut hitam itu berdiri tepat di
hadapan Yanjie, memberikan sambutan selamat datang berupa raut terkejut yang
jelas tidak dapat disembunyikan.
“L-Laoshi?”
Wajah dengan raut terkejut itu akhirnya buka suara
setelah beberapa saat hanya terpaku sambil menahan daun pintu agar tetap
terbuka. Ini dia. Akhirnya Yanjie
menemukannya, meski—oke, ia benci mengakui ini—harus meminta Park Hyunbin campur
tangan dengan mengerahkan segenap anak buahnya untuk melakukan pelacakan.
Sejujurnya, Yanjie sudah menyiapkan ribuan pertanyaan
yang semuanya mengerucut pada alasan kenapa Dirga menghilang begitu saja
setelah mengikuti OSN-nya tahun lalu. Yanjie juga tidak habis pikir, bagaimana
bisa anak itu tidak peduli pada hasil OSN-nya dan mendadak lenyap begitu saja.
Tapi sekarang Yanjie sudah menemukannya.
Dalam keadaan biasa, Yanjie mungkin akan menyemburkan
kalimat andalannya: Maumu apa? Ngilang
nggak ada kabar! Kamu minta di-smack down, hah?!
Tapi sekarang situasinya berbeda.
Melihat ekspresi Dirga yang tampak begitu redup dan
pasrah, Yanjie yakin pemuda itu bahkan tidak akan berbuat apa-apa meski di-smack down lalu dilempar ke luar
jendela.
“S-silakan masuk, Laoshi.”
Yanjie mengangguk, lalu melangkah masuk melewati daun
pintu yang terbuka. Dirga berjalan di depannya, tampak lebih jangkung dari yang
ia bayangkan. Dan ketika berikutnya pemuda itu mempersilakan Yanjie duduk di
sebuah satu set meja-kursi sederhana, Yanjie bisa melihat jelas ada yang salah
dari Dirga. Yanjie tidak tahu kata apa yang tepat untuk menggambarkannya, tapi
pemuda itu terlihat begitu... menyedihkan.
Kalau bukan karena wajahnya memang wajah yang begitu ia
kenal, Yanjie rasa-rasanya sulit percaya bahwa pemuda di hadapannya ini adalah
Dirga. Hei, ke mana hilangnya pemuda idola yang sering menggoda dan memanggilnya
laogong dulu itu?
Pemuda yang ada di depan Yanjie ini memang Dirga, tapi
rasanya... begitu asing. Cahaya matanya redup, dan cara bicaranya penuh
keragu-raguan. Demi Tuhan, ke mana perginya pemuda yang tidak segan-segan
mengutarakan kalimat-kalimat pedas dulu itu?
Yanjie menghela napas dalam-dalam, tidak bisa percaya
bahwa dalam dua puluh empat tahun usianya, ada satu hari ketika ia harus menghadapi
situasi seperti ini pada suatu malam di musim panas yang berangin di sebuah
negara asing di seberang lautan!
Jujur saja, daripada melihat sosok asing seperti ini,
Yanjie lebih senang dipanggil laogong saja
oleh Dirga. Kau tahu, mengerikan sekali rasanya menempuh perjalanan ribuan mil
hanya untuk menemui seseorang yang bahkan nyaris tidak bisa kau kenali selain
wajahnya.
“Ehm, Laoshi,”
suara Dirga membawa Yanjie kembali dari lamunannya. “Kalau Laoshi tidak keberatan, saya mau keluar sebentar.”
“Mau ke mana?”
“Eh... itu... saya...”
Mata Yanjie memicing. Mau
menghindar, eh? Anak ini benar-benar... “Tidak usah. Di sini saja,” ucap
Yanjie akhirnya. “Laoshi mau bicara.”
Oh ya, tunggu sebentar... apa yang Dirga katakan tadi? Saya? Sejak kapan anak itu menggunakan
kata “saya”? Di kelas persiapan OSN dulu, Dirga malah satu-satunya murid yang
hampir selalu menggunakan namanya sendiri untuk mengganti kata “saya”, tapi
sekarang cara bicaranya bahkan lebih mirip Benedict versi canggung. Apa yang terjadi padanya?
Yanjie berdehem sebentar, mencoba mengumpulkan
keyakinannya untuk menginterogasi Dirga saat ini juga. Ia sudah berusaha keras
mencari anak ini—bahkan sampai harus melibatkan bosnya—jadi setidaknya ia harus
mendapatkan jawaban.
Oke, pertanyaan pertama. Ke mana saja kau selama ini?
“Bagaimana kabarmu?”
Yanjie tertegun begitu menyadari malah pertanyaan basa-basi
itu yang keluar dari mulutnya. Ia mengempaskan badannya ke sandaran kursi dan
bertanya-tanya sendiri dalam hati kenapa ia jadi melow seperti Pak Zam begini. Kini bahkan salah satu sisi
pikirannya tengah berteriak-teriak memprotes meluncurnya pertanyaan basa-basi
yang tidak ada esensinya itu.
Dari sudut mata, Yanjie melihat Dirga menarik kursi di
depannya. Ketika pemuda itu duduk, Yanjie bisa melihat jelas tulang selangka yang
tampak lebih menonjol dari yang ia ingat—Dirga masih senang memakai kaus
berleher lebar rupanya.
Lalu hening sejenak, sebelum beberapa detik berikutnya
suara Dirga memecah kesunyian, “Saya... baik-baik saja.”
Bohong. Yanjie berdecak
kesal. Dengan badan sekurus itu, dia
bilang dia baik-baik saja?
Ah, terserahlah. Sekarang pertanyaan kedua—pertanyaan
titipan Pak Zam, Benedict, Juna, Desyca... pertanyaan semua orang. Kenapa kau menghilang begitu saja satu tahun
ini?
“Kenapa...” Yanjie menatap Dirga lekat-lekat. Pemuda itu
tampak menekuri permukaan meja dengan jemari yang saling dikaitkan. Oke,
tanyakan sekarang juga, Li Yanjie, sisi logis dari pikirannya kembali
memprovokasi. “Ehm. Kenapa... kamu...”
“Kenapa kamu pucat begitu?” tanya Yanjie cepat.
“Eh?”
Yanjie kembali berdecak. “Ambil minum sana! Wajah pucatmu
itu... mengganggu.”
Astaga, Yanjie, pikiran
logisnya kembali menggedornya untuk menuntaskan ini, melawan habis-habisan sisi
lain dari hatinya yang masih gigih menahannya agar tidak buru-buru dan seperti
mengatakan, Benar, Yanjie. Tanyakan
kabarnya dulu, pastikan dia baik-baik saja, setelah itu baru tanyakan apa yang
ingin kau ketahui darinya. Pertimbangkan perasaannya juga... Itu tugas
terpenting seorang guru.
Tunggu, yang terakhir itu sepertinya... kalimat Pak Zam.
Yanjie mengembuskan napasnya keras-keras, tidak habis
pikir bagaimana ia yang sejauh ini hanya berkutat dengan urusan
teknologi mutakhir di DG Group bisa-bisanya menjadi punya
pikiran seperti Pak Zam? Ha!
Mungkin—ya, kemungkinan kecil—kalau suatu hari ia dipecat
oleh Park Hyunbin, Yanjie akan menjadi guru saja.
Melihat Dirga masih tetap terpekur di tempatnya, Yanjie kembali
berbicara, “Ambil minum sana!”
Lalu Yanjie tertegun. Hari ini pikirannya melayang tidak
jelas. Memangnya apa hubungannya wajah pucat dengan mengambil air minum?
Benar-benar basa-basi yang basi! Bodoh
sekali.
Tanpa berkata apa-apa, Dirga bangkit dari duduknya lalu
melangkah perlahan menuju sebuah kulkas kecil di pojok ruangan dan membukanya.
Lama ia berdiri di sana, di depan pintu kulkas yang terbuka, hingga ketika
berikutnya deheman Yanjie terdengar, pemuda itu buru-buru menutup pintu kulkas
sambil menenteng dua botol air mineral. Salah satunya ia sodorkan kepada
Yanjie.
“Kamu cuma punya ini?” todong Yanjie langsung. Matanya
sibuk mengamati kemasan air minum mineral itu.
“Kalau Laoshi tidak
keberatan, saya akan keluar sebentar.”
Dirga mengulangi pertanyaan yang sudah ia ajukan tadi. “Ada minimarket dua
ratus meter dari sini.”
Merasa tidak mendapat jawaban, Yanjie juga mengulangi
pertanyaannya, “Kamu... cuma punya ini?”
“Y-ya, Laoshi.”
Yanjie mendongak. Oh,
Bapa. Ia cuma punya air putih saja di kulkasnya? Apa yang anak ini pikirkan
hingga mau-maunya ia menjalani hidup yang semengenaskan ini?
Yanjie memandang berkeliling—apartemen studio yang
ditempati Dirga ini nyaris tidak ada bedanya dengan kos-kosan ala mahasiswa
yang banyak ia lihat di pelosok Jakarta. Dan... ia juga tidak habis pikir
bagaimana Dirga bisa melepaskan kehidupan lamanya begitu saja—keluarga
angkatnya, sekolahnya, prestasinya, hobinya...
Setidaknya kalau ia memang berniat kabur dari rumah dan menelantarkan
pendidikannya, ia bisa jadi penyanyi, kan? Itu lebih baik tentunya. Atau
bekerja pada Park Hyunbin, misalnya.
Oh, tidak, tidak. Jangan yang terakhir. Cukup Yanjie saja
yang terjebak di tangan pria gila itu, jangan muridnya juga.
Yanjie mendengus. Ia benar-benar berpikir seperti seorang
guru sekarang. Tapi Yanjie tidak tahan lagi. Anak ini benar-benar...
“Hei, Dirga! MAUMU APA SEBENARNYA, HA?!”
***
“Hei, Dirga! Maumu apa sebenarnya, ha?!”
Dirga mendongak. Akhirnya
saat ini datang juga. Dirga tahu cepat atau lambat pertanyaan itu memang
akan datang. Hari ini, pada hari ke-340 dari pelariannya, pertanyaan itu datang
dengan perantara Laoshi Yanjie yang
tampak menunggu jawabannya seperti singa lapar. Dirga bisa melihat sorot mata
mantan gurunya itu. Berapi-api... dan dipenuhi binar tekad seolah sanggup
menelan dirinya bulat-bulat jika jawaban yang ia lontarkan tidak sesuai dengan
apa yang diharapkan.
“Dirga,” Dirga mendengar Yanjie menghela napas
keras-keras setelah memanggil namanya. “Yang kamu lakukan itu... benar-benar tidak
bisa dipercaya.”
Angin dingin berembus, menghantam Dirga yang masih
terdiam di tempatnya. Kilasan-kilasan kejadian tahun lalu terputar begitu saja
di benaknya, diselingi potongan-potongan acak akan ingatan masa kecilnya,
tempat semua ini bermula.
Suara Yanjie terdengar lagi, “Kehilangan Reihan saja sudah
sangat buruk, lalu kamu juga pergi begitu saja tanpa kabar setelah mengikuti
OSN.” Yanjie menelengkan kepalanya, memampangkan ekspresi keheranan. “Tapi ini
bukan tentang OSN, atau medali emas, atau tentang beasiswa... Kamu tahu, ini
tentang sikapmu.”
Dirga menggigit bibir bawahnya. Dadanya sesak seolah bisa
meledak kapan saja. Seumur hidup, ia selalu mempertanyakan ini—mempertanyakan
siapa yang patut dipersalahkan atas hidupnya yang berantakan. Tapi ia tidak
pernah berhasil menemukan jawaban.
Dirga juga sering menyalahkan dirinya sendiri atas apa
yang terjadi tahun lalu, sebuah tragedi yang membuat dirinya terkungkung rasa
bersalah yang begitu besar. Namun setiap kali merenung, Dirga tahu ada hal lain
yang bisa disalahkan—masa kecilnya. Tapi tokoh utama pada masa kecil Dirga juga
menyalahkannya. Mamanya.
Jadi siapa yang salah?
Mimpi mamanya yang hancur... itu salahnya?
Mimpi besar Maria sahabatnya hancur... itu juga salahnya.
Dan... Reihan.
Reihan yang sekarang sudah berada di surga... itu... itu salahnya
juga? Atau salah masa kecilnya—salah mamanya? Tapi mamanya menyalahkannya juga...
Jadi, bagaimana?
Pada akhirnya Dirga memutuskan untuk melarikan diri dari
semuanya setelah menyadari bahwa ia bukan hanya berbakat menghancurkan mimpi
orang yang disayanginya, tapi juga berbakat menghilangkan nyawa orang-orang
yang ada di sekitarnya.
***
“Hanya karena gagal mendapatkan medali emas, kamu tidak
perlu sampai terpuruk dan kabur seperti ini, Dirga. Semua orang juga tahu saat
itu kamu baru mengalami kecelakaan. Dan... katakanlah kita melihat kemungkinan
terburuk—beasiswamu dicabut, misalnya, kamu masih punya banyak kesempatan lain.
Laoshi juga tidak akan jatuh miskin
kalaupun harus membiayai sekolahmu. See?”
Yanjie sedikit terengah setelah mengucapkan rentetan
kalimat panjang itu. Ia menatap Dirga tanpa kedip, lalu melanjutkan dengan nada
menenangkan, “Dengar, Dirga. Laoshi tahu
kamu pasti punya alasan melakukan ini semua. Laoshi tidak sedang menghakimimu, tapi setidaknya...” Yanjie berdehem
sebentar. Ya ampun, apakah ia memang
harus mengatakan ini?
“...setidaknya berceritalah pada Laoshi. Ya?”
Astaga. Yanjie merasa ia
pasti sudah gila. Kalau ada Pak Zam di sini, pria itu sudah pasti juga akan
ternganga. Dapat kalimat dari mana ia sampai bisa-bisanya membujuk Dirga
sedemikian rupa?
Hening sejenak saat Yanjie mendapati Dirga menatapnya
lama. Entah apa yang pemuda itu pikirkan, tapi sorot matanya seperti memaksa
Yanjie untuk bersabar sedikit.
Dirga mendongakkan kepalanya sambil menghela napas
panjang. Di atas meja, kedua tangannya yang berkeringat tampak saling meremas
satu sama lain.
Yanjie masih bersabar menunggu.
“L-Laoshi, kecelakaan
tahun lalu itu... sebenarnya...”
Kedua mata Yanjie melebar. Mendengar insiden yang
menyebabkan meninggalnya Reihan itu disebut oleh Dirga, Yanjie merasa degup
jantungnya sedikit berubah irama dan hawa dingin seperti melingkupi tubuhnya secara
tiba-tiba. Apakah angin musim panas memang sedingin ini... atau perasaannya
saja?
Yanjie tidak sepenuhnya mengerti apa yang ada di balik
kecelakaan itu, tapi yang jelas kematian Reihan dalam kecelakaan mobil bersama
Dirga tahun lalu memang merupakan pukulan berat bagi mereka semua. Pak Zam
bahkan mendapatkan sanksi berat karena dianggap lalai mengawasi murid-muridnya
dalam masa karantina.
Setelah kecelakaan itu, Dirga memang berhasil melewati
masa kritisnya, tapi Reihan tidak. Tepat sembilan hari sebelum pelaksanaan OSN,
pemuda yang nyaris selalu terlihat ceria itu meninggalkan mereka semua.
“K-kecelakaan itu... sebenarnya... saya...”
Yanjie menegakkan duduknya mendengar Dirga kembali
berbicara. Kalau dugaannya benar, sepertinya Dirga tahu sesuatu yang
tersembunyi tentang kecelakaan itu.
Benak Yanjie mulai mengusung berbagai skenario. Status
Reihan sebagai putra gubernur tentu membuka kemungkinan terhadap banyak hal.
Apakah... kecelakaan itu bukan kecelakaan biasa?
Detik-detik berikutnya pun berlalu dalam keheningan
karena Dirga masih belum melanjutkan perkataaannya, dan tanpa sadar tangan
Yanjie terkepal. Ini mengesalkan sekali, seperti menunggu ending film yang tidak segera tuntas.
“Dirga,” Yanjie memanggil pemuda itu agar segera
menyelesaikan bicaranya. “Katakan. Sekarang. Juga.”
Pemuda itu tergeragap dan mulai kembali buka suara. “L-Laoshi, s-saya—” kalimatnya terpotong
ketika menyadari sesuatu yang ia gantungkan di tengah jendela yang terbuka baru
saja diterpa angin dari luar sehingga melayang dan jatuh di dekat kaki meja.
Dirga membungkuk, memungut benda kecil itu sedangkan Yanjie semakin gemas
karena pemuda itu malah memperhatikan sesuatu yang tidak penting seperti... boneka penangkal hujan?
Dirga memasang boneka penangkal hujan di jendela apartemennya?
Yanjie memicingkan mata. Ia sering melihat boneka seperti
itu di film maupun kartun-kartun Jepang. Dibuat menggunakan kain putih dengan
kepala bulat dan digantungkan di jendela untuk—menurut kepercayaan—menangkal
hujan. Ngomong-ngomong, bagaimana mereka menyebutnya... teri bozu? Teru bozu? Teru-teru bozu?
Ah, entahlah. Yanjie tidak ingin memusingkan hal itu.
Dan apa yang dilakukan Dirga dengan boneka itu? Yanjie
berdecak. Betapa waktu satu tahun punya makna yang begitu luar biasa. Dirga yang
setahunya selalu mendewakan logika... sekarang... mempercayai boneka penangkal
hujan?
Lagipula, ini musim panas, jadi kalaupun anak itu
percaya... apa tadi namanya... teru-teru
bozu... tanpa boneka itu pun hujan tidak akan turun, kan?
Anak ini pasti sudah gila.
“Dirga! Letakkan itu dan selesaikan ceritamu sekarang
juga.”
Pemuda itu bergeming, seperti tidak mengindahkan
perkataan Yanjie dan malah beranjak untuk menggantung kembali boneka berkepala
botak itu di tengah jendela.
“Dirga!”
Tapi yang dipanggil masih berdiri di depan jendela. Detik
berikutnya, Yanjie malah mendapati pemuda itu memandangi boneka botak itu
lekat-lekat—seperti memohon sesuatu—dan bergumam lirih seperti bersenandung, “...ashita tenki ni shite o-kure.”
Tidak bisa dipercaya! Apa-apaan dia?!
“Dirga...”
Tetap tidak ada sahutan.
“HUANG JUNJIAN!”
Dirga akhirnya menoleh lalu menghela napas. Pemuda itu
memejamkan matanya sejenak, seperti mengumpulkan keberanian untuk berbicara,
masih dengan teru-teru bozu di
tangannya. “I-ini...”
“Ya. Saya tahu. Itu sebuah teru—teri—teri bozu. Ya. Teri
bozu.” Yanjie menyambar dengan tidak sabar.
“Teru-teru bozu,
Laoshi,” ralat Dirga pelan.
“Ya. Teri—”
“Teru-teru bozu.”
“What
the—!” Yanjie mengibaskan
tangan kanannya dengan frustrasi. “Terserahlah apa namanya—dan kenapa kita
malah membahas ini, ha?!”
Dirga tidak menyahut.
“Saya tahu itu teru-teru
bozu,” sambung Yanjie cepat. Wajah kalem Dirga justru semakin membuatnya
kesal. “Untuk apa?”
“Untuk mengusir hujan.”
Yanjie menggebrak meja, lalu menghela napas panjang
setelah melihat Dirga sedikit tersentak kaget akibat ulahnya. “Astaga,
Dirga...” Yanjie mendesah sambil menyisir rambutnya ke belakang. Dirga
benar-benar menguji kesabarannya sampai ke titik tertinggi. “Saya juga tahu
itu. Tapi tidak ada hujan di bulan Juli.”
“Betul, Laoshi. Tapi...”
Sambil berbicara, pandangan pemuda itu menerawang jauh, seperti mengingat
sesuatu.
Sementara Yanjie masih menunggu.
***
Pekanbaru, satu tahun yang lalu.
Pukul 00.37.
Reihan masih sempat melirik jam meja ketika ia merasa
Dirga bergerak-gerak gelisah dalam tidurnya. Ia bangkit, menyalakan lampu, lalu
dengan kesadaran yang belum sepenuhnya kembali, ia mendapati Dirga tertidur
dengan badan kaku namun kepalanya bergerak gelisah di atas bantal. Wajahnya
basah oleh keringat dan napasnya pendek-pendek hingga Reihan bahkan bisa
melihat dadanya yang turun-naik dengan cepat.
“Ga?” Reihan
mencondongkan badannya, mengamati Dirga lebih dekat dan saat itu juga ia
melihat raut wajah Dirga yang mengernyit seperti menahan sakit... entahlah...
atau seperti orang yang sedang... ketakutan?
Mimpi buruk, eh?
Reihan menyimpulkan dengan cepat dan tahu-tahu tangannya
sudah bergerak menyentuh bahu Dirga lalu menggoyang-goyangkannya perlahan. Reihan
memanggil namanya lagi, “Ga?”
Tapi Dirga belum bangun juga.
Reihan menghela napas. Dasar tukang molor, ia membatin. Sejauh pengamatannya, Dirga memang
cenderung susah dibangunkan dari tidurnya. Beberapa hari yang lalu pun anak itu
bahkan masih tidur pada jam tujuh pagi sampai Bejo mengira ia sedang sakit. Sang
ketua tim itu pun sampai menyuruh Reihan untuk kembali ke kamar dan mengecek
apakah Dirga baik-baik saja.
Huh, sakit apanya? Reihan
menggerutu dalam hati. Pagi itu Dirga ternyata malah masih tidur pulas dan
ketika coba ia bangunkan, anak itu langsung duduk tegak sambil melanjutkan
igauannya. Eh, sebentar, apa yang Dirga racaukan hari itu? Jangan... pukul?
Ya, sesuatu semacam itu.
Yang jelas, hari itu Dirga malah mendapatkan hadiah
tonjokan darinya. Siapa yang tidak kesal, coba? Bayangkan kau sedang panik
betulan, lalu orang yang kau cemaskan malah mengerjaimu dengan ekspresi ciluk-ba yang menyebalkan. Candaan yang
garing sekali. Sungguh.
Dan... oh ya, lain kali daripada menonjoknya sendiri,
Reihan akan minta tolong Laoshi Yanjie.
Setidaknya, selama ini ancaman smack down
dari gurunya itu masih cukup ampuh untuk menghentikan kelakuan-kelakuan
tidak masuk akal bin ajaib yang mereka lakukan.
Oke, sekarang Reihan akan mencoba membangunkan Dirga
sekali lagi. Kalau tidak bisa... ya sudahlah.
“Dirga, hei...”
Reihan baru saja akan mengulurkan tangannya kembali saat
ia melihat Dirga seperti tersentak dalam tidurnya, sekilas tampak seperti orang
sekarat yang sedang ditangani dokter menggunakan alat kejut jantung—oke, yang
ini mungkin agak berlebihan, tapi Reihan jelas melihat badan Dirga yang memang
berjengit sedikit. Setelahnya, wajah Dirga tampak semakin berkeringat dan
berikutnya Reihan malah mendengar gumaman-gumaman lirih keluar begitu saja dari
mulutnya.
Mengigau lagi?
Reihan menatap Dirga tanpa kedip. Ia mendengus geli,
berpikir apa jadinya kalau fans-fans Dirga yang bejibun itu tahu kalau idolanya
adalah spesies yang suka ngelindur saat tidur. Reihan hampir saja cekikikan
dengan gila namun tiba-tiba racauan Dirga menjadi agak jelas untuk ia dengar.
“Ng-nggak, Ma... J-jian nggak—”
Seiring dengan racauannya, Reihan mendapati Dirga bergerak-gerak
semakin liar, lalu...
“GA!” Reihan akhirnya menyentak bahu Dirga kuat-kuat
ketika dilihatnya anak itu kini malah megap-megap seperti kehabisan udara. Oke,
ia agak panik sekarang. “DIRGA, BANGUN!”
Detik berikutnya Reihan mengembuskan napas lega ketika
Dirga akhirnya terbangun. Tapi anak itu duduk dengan kepala tertunduk sehingga
Reihan tidak dapat melihat raut wajahnya.
“Ga, kamu—” Reihan baru akan bertanya apakah teman
sekamarnya itu baik-baik saja ketika ia menyadari bahwa ternyata badan Dirga
gemetaran. Kedua tangannya terkepal, meremas selimutnya erat-erat. Napasnya pun
tidak beraturan sampai Reihan bisa mendengar tarikan udaranya yang berat.
“Kamu... nggak apa-apa?” Reihan meraih pergelangan tangan
Dirga.
Astaga!
Reihan menautkan alisnya—tangan Dirga berkeringat dan
dingin sekali. Ia lalu menyentak badan Dirga, memaksanya mendongak dan ia
mendapati teman sekamarnya itu menatapnya dengan pandangan nanar namun begitu
kosong. “Kamu sakit, Ga? Aku telepon Pak Zam ya.”
Namun Dirga tidak merespons meskipun jelas-jelas matanya
menatap Reihan lurus-lurus.
Merasa Dirga tidak menangkap apa yang ia katakan, Reihan
akhirnya mengguncang badan Dirga sekali lagi. Berhasil. Anak itu tampak
tergeragap sebentar lalu mengerjap-ngerjapkan matanya.
“R-Rei?”
Dirga menggaruk belakang kepalanya, tampak agak salah
tingkah lalu berikutnya ia langsung tersenyum lebar sambil berujar dengan nada
meminta maaf. “Dirga bikin Rei terbangun ya?”
Reihan mengangkat alisnya. Ini tidak seperti yang ia
duga. Sebelumnya, Reihan membayangkan Dirga akan kembali memamerkan wajah ciluk-ba-nya untuk mengerjainya, tapi
ternyata tidak. Yang didapatkan Reihan sekarang malah sebuah senyum lebar yang hambar
dan tampak... dipaksakan. Reihan bisa merasakannya karena napas Dirga yang
tidak beraturan itu masih sangat kentara, berkebalikan dengan ekspresi wajahnya
yang terlihat biasa saja—atau sengaja dibuat
biasa saja?
Reihan tertegun sejenak.
Ada yang tidak benar.
***
Beberapa hari setelahnya...
Sambil bersedekap memandang jendela, Dirga memperhatikan
hujan yang turun di luar. Tidak deras, memang, tapi butir-butirnya yang
jatuh dengan konstan itu membuatnya kesal setengah mati. Dirga
tidak suka hujan—segala sesuatu jadi terasa suram. Termasuk perasaannya.
Atau hidupnya memang ditakdirkan
suram?
Dirga berdecak lalu memandang sekeliling. Dua puluh menit
yang lalu, Laoshi Yanjie memberikan
tiga soal esai dadakan dan saat ini sedang memeriksa lembar jawaban mereka
sambil memberi kesempatan untuk beristirahat sejenak.
Di seberang meja tepat di hadapannya, Juna tampak sibuk
mengotak-atik PSP—bukan pemandangan istimewa. Bosan, Dirga mengalihkan
pandangan. Di sebelah kirinya, Dirga mendapati bahu Reihan terguncang-guncang
selagi tergelak menertawakan Bejo yang baru saja menemukan kalkulatornya setelah
ia sembunyikan.
Ck! Teman sekamarnya itu memang
kadang kelewat iseng.
Setelah Reihan, pandangan Dirga tertumbuk pada Desyca.
Gadis itu tampak sedang sibuk menulis sesuatu sambil sesekali memain-mainkan
rambutnya menggunakan pensil. Beberapa saat Dirga mengamati apa yang dikerjakan
Desyca hingga ketika gadis itu membalik kertasnya, Dirga tahu bahwa gadis itu
sedang mengerjakan ulang soal yang tadi diberikan oleh Laoshi Yanjie.
Senyum sinis terulas di bibir Dirga. Sedang berusaha keras untuk menang, eh?
Supaya bisa kuliah di Nanyang?
Supaya bisa jadi astronot?
Naif sekali.
Melihat Desyca, suasana hati Dirga kembali memburuk. Terbayang
olehnya beberapa malam terakhir yang ia habiskan dengan tidur yang sama sekali
tidak bisa dibilang nyenyak karena mimpi buruk. Kalau saja gadis itu tahu, omong
kosong tentang impian dan cita-cita yang ia tuturkan tempo hari telah
membangkitkan semua kenangan buruk yang disimpan Dirga dalam-dalam.
Semua penderitaannya.
Semua memori masa kecilnya.
Semua rasa sakit yang pernah dialaminya!
Dirga menggeleng-gelengkan kepala, mencoba mengusir semua
bayangan mengerikan yang datang ke mimpinya hari-hari belakangan. Itu mimpi
buruk yang sama. Mimpi yang menghantuinya hampir setiap hari bertahun-tahun
yang lalu, kemudian hanya datang beberapa kali sejak ia tinggal dalam kehangatan
di tengah keluarga Zhang, tapi nyaris tidak pernah menghampirinya lagi beberapa
bulan terakhir...
Mimpi yang tokoh utamanya adalah dua orang yang ingin Dirga
lupakan selamanya!
Mama.
Dan wanita jahat yang mengaku sebagai mantan kekasih
papanya itu.
Rangkaian mimpi buruk yang sama kembali menghantui Dirga
setelah siangnya Desyca mencak-mencak dan menunjuk-nunjuk wajahnya dengan ujung
sendok sambil menceramahinya untuk mengikuti passion meskipun ditentang siapa saja.
Ck! Memangnya dia tahu apa?
Gadis itu juga menguliahinya tentang impian—satu kata
magis yang selalu membuat jiwa Dirga terempas keras-keras pada pedihnya
kenyataan.
Sialan. Mungkin karena itulah
mimpi buruknya kembali datang.
Dirga selalu ingat bagaimana perasaannya tiap kali mimpi
itu datang—rasa takut, cemas, kesal, marah, sedih, dan putus asa semuanya teraduk
menjadi satu tanpa bisa ia lawan. Mimpi-mimpi buruk itu... Dirga selalu menjadi
korban di sana. Dipukul, ditampar, ditendang... tergeletak penuh luka... dan
tidak ada yang datang menolongnya.
Begitu lemah.
Begitu tidak berdaya.
Dan tidak bisa berbuat apa-apa!
Lalu ia akan terbangun dengan rasa takut yang nyata dan badan
gemetaran seolah kejadian-kejadian itu baru terjadi kemarin. Tidak jarang juga
ia tidak bisa tidur lagi setelahnya sehingga ia memutuskan untuk menghabiskan
waktu untuk belajar hingga tertidur begitu saja menjelang pagi sambil memegang
buku.
Apakah ia menderita?
Entahlah.
Menderita atau tidak, yang jelas Dirga sudah biasa. Ia
memang sudah tidak menangis lagi, tapi mimpi buruk itu selalu berhasil membuatnya
terpuruk dengan sangat menyedihkan.
Seperti saat tengah malam beberapa hari yang lalu.
Reihan membangunkannya tepat saat ia sedang menangis di
alam bawah sadar, terjerembab tepat di bawah telapak kaki ibu kandungnya sambil
meratap dan memohon-mohon agar wanita itu berhenti menyakiti dirinya.
Lupakan itu, Dirga...
Ga...
“HOI, GA!”
Dirga tersentak begitu menyadari suara yang menyebutkan
namanya belakangan ternyata bukan berasal dari pikirannya, tapi dari pemuda
gondrong yang duduk di sebelahnya. Dirga langsung memasang wajah protes, “Rei
apa-apaan sih? Dirga kaget tau!”
Menyadari semua mata tengah tertuju padanya, Dirga segera
memampangkan wajah cemberut nan manja yang selama ini ia tunjukkan pada semua
orang. Wajah palsunya. Topengnya. Hanya itu yang ia punya dan yang bisa ia
gunakan untuk menutupi luka-luka yang menganga dalam hatinya—semata agar ia terlihat baik-baik saja.
***
“Kita mau ke mana, Rei?”
Sekilas Reihan melirik Dirga yang tampak menyandar santai
pada jok mobil di sebelah kirinya. Reihan menghela napas lega. Ia sudah membuat
janji dengan seseorang yang cukup penting malam ini dan akhirnya ia
diperbolehkan keluar oleh Laoshi Yanjie
dan Pak Zam setelah mati-matian merengek meminta izin—well, sebenarnya bukan Reihan yang melakukannya, tapi Dirga.
Reihan tertawa sendiri mengingat kejadian tadi. Benar-benar
tidak bisa dipercaya. Ketika Reihan yang meminta izin, Laoshi Yanjie bersikukuh tidak memperbolehkan, tapi ketika Dirga
yang melakukannya—tentu dengan ancaman akan menempel pada laogong-nya itu sepanjang hari—pria berambut pirang itu langsung mengiyakan
dan menyuruhnya segera pergi. Pak Zam bahkan bersedia meminjamkan mobilnya.
Reihan kembali tergelak.
“Hei, Ga.” Reihan memanggil Dirga, sambil matanya tetap
fokus pada mobil-mobil di depannya yang tampak nekad ngebut juga meski hujan
belum menampakkan tanda-tanda akan reda. “Aku baru tahu kalau aksi ala kucing
garong-mu itu ada gunanya juga.”
“Oh, my pleasure...” Terdengar
tawa lepas Dirga di sebelahnya. “Asal jangan lupa saja janji traktirannya
setelah urusanmu selesai nanti ya—oh ya, urusan apa sih memangnya? Penting
banget ya? Dan kenapa cuma ngajak Dirga?” tanya Dirga beruntun.
Reihan terdiam sebentar, menimbang-nimbang lalu menghela
napas. “Ehm.” Mungkin ia memang harus mengatakan ini sekarang, meski rencananya
ia baru akan menjelaskan nanti saat sudah bertemu orang itu. “Jadi gini nih, Ga. Aku... kan kenal seseorang... dan kita
sedang dalam perjalanan untuk ketemu dia.”
“Rei mau kencan?” potong Dirga cepat. “Terus Dirga gimana
dong? Rei tega ya jadiin Dirga obat nyamuk?” lanjutnya dengan wajah genit
seperti saat meminta izin pada Laoshi Yanjie.
“Bukan. Dasar kucing garong!” gerutu Reihan sambil
melirik Dirga dengan ekspresi ngeri. “Kuperingatkan kau ya, jangan sekali-kali menampilkan
wajah kucing garong-mu itu di depanku! Aku bisa gatal-gatal nanti.”
Dirga tergelak.
Setelah tawa Dirga reda, Reihan kembali buka suara. “Jadi
gini, Ga. Beberapa hari terakhir—eh sudah lama juga sih, kuamati sepertinya... kau...”
Reihan bertanya dengan hati-hati, belum yakin apakah ia memilih kalimat yang
tepat untuk menanyakannya, “...sepertinya kau sering mimpi buruk, ya? Sampai
terbangun tengah malam terus ujung-ujungnya jadi belajar karena nggak bisa
tidur lagi. Aku... aku tahu lho, Ga.”
Suasana mendadak hening.
Dari sudut mata, Reihan jelas melihat badan Dirga sedikit
menegang. Dan meski wajahnya tetap datar, tapi ekspresi sok imutnya langsung
lenyap dan mata temannya itu menerawang jauh. “Jadi?” tanyanya tanpa memandang
Reihan.
“Jadi... seseorang yang akan kita temui ini... mungkin...
bisa membantumu...”
“Apa maksudmu?!” Dirga memotong cepat sambil menoleh. Sorot
matanya terlihat berbeda—ada luka di sana. Reihan bisa melihatnya meski masih fokus
menyetir.
Reihan melanjutkan bicaranya, “Orang ini kenalanku... dia...
psikiater, jadi—”
“Aku nggak gila, Rei!”
Mendengar seruan Dirga, Reihan terperanjat. “B-bukannya
gitu, Ga.” Ia melambaikan tangan kirinya cepat-cepat. “Aku cuma mau bantu kamu,
barangkali kamu nggak pernah kepikiran soal ini. Tolong jangan salah paham.”
Hening sejenak, dan Reihan mendengar Dirga menghela napas
panjang lalu menunduk. Hujan makin deras mengguyur kaca depan, dan Reihan
merasa hawa tidak enak mulai melingkupi mereka berdua.
“Setelah aku cerita panjang lebar tentangmu, temanku ini bilang...”
Reihan melirik Dirga sejenak, mengantisipasi kemungkinan yang barangkali akan terjadi.
“Temanku ini bilang, mungkin—ya, ini baru kemungkinan—kamu mengalami... eh...
apa namanya kemarin ya... post-traumatic
stress disorder kalau nggak salah. Semacam trauma berkepanjangan karena
sesuatu hal gitu deh. Aku... kurang paham juga sih, jadi nanti kamu bisa tanya
ke dia. Aku juga sudah bilang kan... kalau kau punya masalah, jangan
segan-segan padaku kalau mau cerita atau butuh bantuan apa saja.”
Melihat Dirga yang masih mematung, Reihan menjadi tidak
enak hati.
Apa Dirga tersinggung?
Pikiran itu membuat Reihan buru-buru menambahkan,
“Ta-tapi nggak apa-apa kok, Ga. Temanku bilang itu bukan masalah serius. Bisa
disembuhkan kalau—”
“Putar balik mobilnya, Rei!”
“Eh?”
“Putar balik, Rei!” seru Dirga keras.
Reihan menggigit bibirnya, ia tidak memperkirakan ini
akan terjadi. “Ga, tolong percaya sama aku. I-itu bukan masalah serius, tapi—”
“REI!” Dirga menghardiknya sambil memukul dasbor. Wajah
pemuda itu memerah, dengan ekspresi dingin yang sama sekali belum pernah Reihan
lihat sebelumnya. “Kamu nggak berhak ikut campur soal ini!”
“Kamu temanku, Ga! Aku cuma mau bantu...”
“Aku... nggak butuh bantuanmu,” tandas Dirga pedas. “Aku
nggak butuh apa-apa, jadi... Rei... putar balik atau biarkan aku turun di sini
sekarang juga!” ujarnya keras sambil mencondongkan badan dan berusaha
menggerakkan tangan Reihan ke arah yang ia inginkan.
“HEI!” teriak Reihan sambil menepis tangan Dirga dari
roda kemudi. Saat itu juga suara klakson yang nyaring terdengar dari arah belakang,
membuat jantungnya berdetak beberapa kali lebih cepat.
“Ga, tetap di situ!” sergah Reihan lagi begitu melihat
Dirga berusaha membuka pintu mobil sebelah kiri setelah melepas seatbelt-nya, mengguncang-guncangkan handle-nya padahal semua pintu terkunci.
Temannya itu sepertinya bisa menjadi benar-benar nekad—ini juga tidak
terbayangkan oleh Reihan. Sambil menyetir, ia sesekali menoleh ke kiri,
memastikan Dirga tidak melakukan sesuatu yang mungkin akan mencelakakan mereka
berdua.
Dirga pasti tersinggung.
“Oke, kita balik sekarang,” putus Reihan sambil menepuk
bahu Dirga pelan lalu dengan sebelah tangan ia memasangkan kembali sabuk
pengaman di kursi Dirga, sementara pemuda berambut hitam itu memandangnya
dengan tatapan yang menusuk, seakan menyuarakan aku-baru-tahu-kau-selancang-ini.
Lalu pikiran Reihan melayang-layang, memikirkan
kemungkinan persahabatan mereka mungkin tidak akan sama lagi setelah ini.
Reihan mengutuki dirinya sendiri. Ia tahu, bagaimanapun,
seharusnya ia meminta persetujuan Dirga terlebih dahulu, bukannya langsung mengajaknya
pergi dan memberitahunya di perjalanan seperti ini.
Bodohnya...
Bodoh sekali...
“H-HEI, HEI! HEI! R-REI! Perhatikan jalannya!”
Reihan mendadak tersentak dari lamunannya karena seruan
Dirga. Ia masih berusaha mengumpulkan pikirannya yang tercecer ketika Dirga
menarik tangan kirinya, membantunya membanting setir—tapi saat itu juga Reihan
sadar ia sudah melanggar marka.
Detik berikutnya, yang ia lihat hanya guyuran hujan yang
masih begitu lebat dan bumper truk
yang mendekat dengan cepat, lalu ketika suara klakson dan benturan keras seperti
memecahkan gendang telinganya, ia merasa dunia di depannya sudah terbalik
begitu saja.
***
Tokyo, Juli 2016.
Dirga memejamkan matanya sejenak. Ingatannya melayang
pada suatu malam hampir satu tahun yang lalu, ketika sikap kekanak-kanakannya telah
membuat seseorang yang tidak bersalah kehilangan nyawa.
Reihan.
Reihan yang baik...
Reihan yang berniat membantunya untuk lepas dari trauma
berkepanjangan, tapi Dirga malah menghancurkan segalanya.
Maaf, Rei...
Dirga membuka mata, menatap teru-teru bozu yang ada di tangannya. Sejak kecelakaan itu terjadi,
perasaannya selalu diselimuti selubung mendung. Pedih dan muram seperti hujan.
Ia memang selalu benci hujan. Jatuhnya butir-butir air
itu selalu membawa suasana gelap—seperti hidupnya yang berantakan.
Selama satu tahun ini, satu-satunya hal yang ia pikirkan
adalah bagaimana agar semua rasa bersalah yang bercokol dalam dirinya itu bisa
pergi—tapi tidak pernah bisa. Ia mencoba segala cara, termasuk berkelana dari
satu tempat ke tempat lain dan meninggalkan semua orang yang ia kenal, semata agar
ia bisa melupakan semuanya.
Untuk sekian lama ia hanya menapaki langkah demi langkah,
bergabung dengan imigran-imigran ilegal dari satu tempat ke tempat lain,
menumpang kapal gelap, bekerja apa saja, hingga ketika pelariannya sampai di
negara ini dan ia melihat banyak orang menggantungkan harapannya pada teru-teru bozu agar hujan tidak turun
keesokan harinya, saat itu pula untuk kali pertama Dirga ingin berhenti
melarikan diri.
Jadi, ternyata ada boneka yang katanya bisa menangkal
hujan.
Lalu ia mencobanya, sambil berharap boneka itu juga bisa
mengusir hujan yang ada di hatinya.
Persetan dengan logika. Toh sejauh ini ia juga tidak
berhasil menemukan logika apa yang paling tepat untuk menjelaskan hidupnya yang
berantakan itu.
Jadi beginilah ia sekarang, menggantung teru-teru bozu setiap hari di jendela
apartemennya sambil berharap esok hari akan jadi lebih baik untuknya, persis
seperti potongan lirik lagu tentang teru-teru
bozu yang sering dinyanyikan anak-anak kecil di sekitar apartemennya setelah
menggantung boneka berkepala botak itu di ranting sakura, “...Teru-teru bozu... teru bozu... ashita tenki ni shite o-kure...” Buatlah
esok hari jadi cerah untukku.
...
Lamunannya terputus begitu saja ketika Yanjie memukul
meja setelah ia bilang memasang teru-teru
bozu untuk mengusir hujan. “Astaga, Dirga...” Ia bisa menangkap nada
jengkel dari kalimat gurunya itu. “Saya juga tahu itu. Tapi tidak ada hujan di
bulan Juli.”
Ya. Ia sepenuhnya tahu bulan ini tidak akan ada hujan,
tapi gurunya itu tentu tidak mengerti bahwa ia ingin mengusir hujan yang lain—hujan
yang selalu turun di dalam hatinya seperti air mata yang tidak ada habisnya.
Tapi bagaimana cara mengatakannya agar Laoshi-nya yang
ternyata peduli padanya itu juga bisa mengerti?
“Betul, Laoshi. Tapi...”
tanpa sadar ia mencengkeram kausnya di bagian dada—sebuah rongga besar tempat
menampung semua rasa sakitnya, “...selalu ada hujan badai... di dalam sini.”
***
Sementara itu di seberang meja, Li Yanjie masih menunggu
jawabannya.
4 Comments
kirain walnya ini bakal romance ReiGa *otaknista tapi ternyata friendship....tapi ini beneran keren lho, suka bgt sama diksinya
ReplyDeletetapi kenapa Reihan musti ninggal T^T
Halooo, thanks banget ya udah sudi baca.
DeleteHahaha, aku nggak bisa bikin cerita bromance. Nggak kuat ngetiknya. *alesan* *belum pernah coba juga sih sebetulnya* XD
Fyi, kamu orang kedua yang mempertanyakan kenapa harus Reihan yang meninggal. Wkwkwk. Kapan-kapan Juna deh yang dibikin mati. :D
jahat ihh, bagus kok. Nggak tega liat bang Dirga ngenes gitu,,
DeleteAhaha. Makasih banyak udah baca. :)
Delete