Investasi Mana sih yang Terbaik: Deposito, Emas, Reksadana, Atau Saham?


Sebetulnya udah lumayan lama saya bikin draft postingan soal investasi ini, tapi karena satu dan lain hal (mager, lebih tepatnya) akhirnya draft ini telantar sampai bertahun-tahun. Di medsos juga saya lihat sekarang udah banyak banget konten yang membahas soal investasi dan jenis-jenisnya, jadi awalnya saya mikir postingan di blog jelata ini kayaknya nggak bakal ngaruh-ngaruh amat.

Cuman, beberapa hari belakangan ada beberapa teman yang ngajak sharing soal investasi, minta pertimbangan mana investasi yang baik, mana yang cocok, dan semacamnya. Saya kebetulan baru lihat cuplikan film “Gampang Cuan” juga tadi siang, di scene Vino G. Bastian jelasin perbedaan deposito, emas, reksadana, obligasi, dan saham. Saya jadi ke-trigger dan rasa-rasanya nggak ada salahnya saya selesaikan draft ini.

Disclaimer, ya. Saya bukan ahli finansial atau semacamnya. Saya cuma sharing pengalaman aja berdasarkan yang sudah saya alami sejak mulai nyoba investasi di tahun 2019. Semua produk yang saya sebut di sini cuma berperan sebagai contoh kasus, bukan berarti saya rekomendasikan untuk dibeli.

Deposito

Tabungan dan deposito udah lumayan familiar lah ya di telinga masyarakat. Pada dasarnya, deposito mirip sama tabungan bank biasa dengan bunga yang relatif jauh lebih besar, cuman nggak bisa diambil sembarangan kalau belum jatuh tempo. Di tahun 2019, waktu saya pertama kali kerja dan mulai belajar mengelola keuangan, saya langsung nyoba deposito. Saya buka deposito secara online pakai aplikasi mobile banking milik Bank Mandiri: Livin’. Simpel sih, nggak perlu ke bank, tinggal buka aplikasi, klik-klik dan pilih-pilih aja mau yang tenornya berapa bulan dan nominalnya berapa. Di Livin’, buat buka deposito minimal kita harus nyiapin satu juta Rupiah dengan tenor paling pendek satu bulan. Kebetulan saya belum banyak riset kalau di bank-bank lain gimana, tapi saya rasa bakal mirip-mirip juga.

Secara umum, deposito lumayan menarik, udah banyak dikenal juga, kan. Tapi jelas kita harus punya uang yang agak banyak. Para pemula atau pelajar atau orang-orang yang uangnya belum sampai batas minimal, jelas belum bisa buka deposito. Dan kalau sewaktu-waktu uangnya kita ambil sebelum jatuh tempo, ada semacam denda. Minusnya itu aja sih. Kalau dari segi keamanan, ya bisa dibilang deposito aman banget karena itu produk bank dan dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Emas

Nah, pada saat yang sama dengan ketika saya nyoba deposito, saya juga nyoba nabung emas. Waktu itu, saya beli emas di Pegadaian via Tokopedia. Simpel juga ini, kita nggak perlu jalan ke toko emas dan bisa beli berapa pun, nggak harus satu gram. Jadi, kalau kita cuma punya uang dikit, kita udah bisa beli emasnya. Nanti dapat emasnya proporsional sesuai dengan nominal uang kita. Dikit-dikit lama-lama jadi bukit, ya kan...

Saya ingat saya cuma sebentar nabung emas. Kayaknya nggak sampai empat bulan. Emang dasarnya saya nggak sabaran aja, sih. Jadi kita tahu kan ya, bahwa kalau kita beli emas, harga beli dengan harga ketika kita jual itu ada gap-nya. Saya ingat, selama empat bulan saya nyoba nabung emas itu, saya amati kenaikan harganya bahkan belum bisa nutup gap-nya. Akhirnya saya nyerah, saya jual emasnya seada-adanya. Rugi soh, karena gap-nya belum ketutup itu tadi, tapi saya pikir nggak pa-pa, sebagai pelajaran. Kalau nggak nyoba, saya nggak akan tahu. Haha.

Intinya nabung emas emang cocoknya untuk investasi jangka panjang, sesuai yang dibilang orang-orang tua kita jaman dulu. Jadi, untuk orang-orang yang nggak sabaran, saya rasa sebaiknya cari instrumen investasi yang lain.

Reksadana

Perjalanan pertama saya mengeksplor investasi di pasar modal diawali dari reksadana. Waktu itu masih awal-awal muncul aplikasi Bibit, saya memutuskan untuk install aplikasinya dan belajar sambil nyoba langsung. Singkatnya, reksadana adalah kumpulan dana dari masyarakat yang dikelola oleh suatu pihak yang disebut Manajer Investasi (MI). Nah, kumpulan dana ini diinvestasikan lagi oleh MI ke deposito, ke saham, ke obligasi negara, dan lain-lain.

Reksadana ini bisa jadi solusi buat kita yang dananya masih receh tapi pengen investasi. Kayak yang tadi saya sebutkan, misalnya kita pengen buka deposito nih, tapi uang kita belum cukup karena belum ada satu juta. Anggap aja misalnya kita cuma punya uang seratus ribu. Otomatis kita nggak akan bisa buka deposito, ya kan. Nah, salah satu opsi yang bisa kita lakukan adalah beli reksadana karena reksadana umumnya lebih terjangkau harganya. Ada yang bahkan pembelian minimalnya cuma sepuluh ribu Rupiah, lho.

Sayangnya, tanpa edukasi yang tepat, reksadana ini kadang munculin miskonsepsi. Orang ngiranya investasi reksadana sama dengan nabung di bank: kita setor uang, lalu dapet bunga. Padahal konsepnya nggak gitu. Konsep investasi reksadana sebetulnya lebih mirip dengan investasi emas. Kalau emas satuannya gram, kalau reksadana satuannya adalah “unit”. Jadi, investasi reksadana artinya kita beli sekian unit reksadana di harga tertentu (di pasaran, harga unit reksadana itu berubah-ubah tergantung banyak hal, termasuk kondisi perekonomian dunia, dkk.).

Nah, anggaplah kita punya sekian unit reksadana. Kalau kita jual lagi reksadana itu di harga yang lebih tinggi dari harga pas kita beli, kita dapet keuntungan. Kalau kita jualnya ketika harga di pasaran sedang rendah, ya kita rugi. That’s all.

Yang tricky dan mungkin bikin banyak orang bingung, adalah bahwa reksadana itu jenisnya macem-macem dengan tingkat risiko dan fluktuasi harga yang berbeda-beda juga. Kita harus pinter-pinter dan bijak buat milih mana reksadana yang cocok. Inilah yang perlu kita pelajari. Dan memilih reksadana itu subyektif. Reksadana yang bagus menurut saya belum tahu bagus juga bagi orang lain.

Saran saya, untuk para pemula yang baru mau nyoba, sebaiknya coba reksadana yang jenisnya adalah Reksadana Pasar Uang (RDPU) karena relatif stabil dan nggak bikin jantungan. Nah, sambil jalan, selanjutnya bisa sambil belajar tentang reksadana-reksadana jenis yang lain.

Betewe saya ada rekomendasi channel yang bahas reksadana dengan bahasa yang sederhana. Silakan ditonton deh. Bagus banget ini videonya.



Saham

Bebarengan dengan learning by doing soal reksadana, sejak 2019 saya juga coba investasi saham. Saya ingat waktu itu ada satu rekan kerja yang udah mulai investasi saham, jadi saya lumayan terbantu karena ada teman buat diskusi. Singkat kata sih, saham adalah bukti kepemilikan kita terhadap suatu perusahaan, misalnya Bank BRI, Bank Mandiri, Telkom, Sidomuncul, Unilever, dan masih banyak lagi lainnya. Dengan beli saham Bank BRI, misal, berarti kita ini pemilik Bank BRI juga, wkwkwk (walaupun porsinya kecil), dan sebagai pemilik, kita berhak dapet hasil atas kegiatan-kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank BRI.

Nah, kalau emas satuannya gram dan reksadana satuannya unit, satuan saham adalah “lembar”. 100 lembar saham disebut 1 lot. Untuk beli saham, minimal kita belinya 1 lot dan kelipatan bulatnya, nggak bisa beli 1,5 lot atau beli 120 lembar gitu. Sebelum bisa beli saham, kita harus mendaftarkan diri ke suatu pihak, yaitu perusahaan sekuritas. Ada banyak banget pilihan sekuritas yang bisa kita pakai di Indonesia, misalnya Mandiri Sekuritas, Sinarmas Sekuritas, MNC Sekuritas, atau yang berbasis online dan nge-hits belakangan ini seperti IndoPremier, Ajaib, dan Stockbit. Daftar lengkapnya bisa kita cek di situs resmi Bursa Efek Indonesia.

Setelah daftar, barulah kita bisa transaksi jual-beli saham. Serupa dengan reksadana tadi, harga saham di pasaran bisa naik-turun tergantung pada banyak faktor, misalnya kinerja perusahaan, kondisi perekonomian global, dan masih banyak lagi. Anggaplah kita beli 1 lot saham Bank BRI di harga Rp5.000,00, kemudian kita jual lagi ketika harganya Rp5.300,00, jelas kita akan mendapat keuntungan. Kalau kita jual lagi ketika harganya Rp4.500,00, ya kita bakal rugi. Gitu aja sih.

Cuman, ya, sebetulnya nggak sesederhana itu. Lagi-lagi serupa dengan reksadana tadi, kita sebaiknya nggak sembarangan asal beli saham. Ada banyak hal yang harus kita pahami dan kita pelajari. Emang perlu waktu sih, tapi sangat worth untuk didalami.

Oh ya, kalau investasi di saham, selain naik-turunnya harga per lembarnya itu tadi, ada juga yang namanya deviden. Pada dasarnya deviden adalah bagi hasil dari keuntungan yang didapat perusahaan selama menjalankan kegiatan usaha. Sama kayak SHU di koperasi lah kurang-lebih. Hehe. Jadi, kalau investasi saham, potensi keuntungan bisa kita dapat dari dua sumber: dari kenaikan harga sahamnya, dan dari deviden. Bagusnya di situ.

Minusnya, saham emang relatif lebih kompleks daripada instrumen investasi yang lain. Tapi banyak sumber kok buat belajar, salah satunya di Instagram @ngertisaham. Bursa Efek Indonesia juga sering bikin program edukasi secara berkala, namanya “Sekolah Pasar Modal”.

 

***

Okelah ya. Segini dulu. Kalau menurut saya pribadi sih, urutan belajar investasi sebaiknya gini:

  1. nabung biasa di bank, amati plus-minusnya dan evaluasi
  2. coba deposito
  3. coba emas
  4. coba reksadana pasar uang
  5. coba reksadana jenis lain misalnya reksadana obligasi dan reksadana saham
  6. terakhir, coba saham beneran

Dengan nyoba, kita bakal tahu mana instrumen investasi yang paling cocok dengan diri kita. Tapi nggak harus nyoba semuanya juga kok. Pelan-pelan, amati dan evaluasi. Yang jelas, apa pun pilihan investasi kita, semuanya baik asalkan didasarkan pada pertimbangan yang matang. Berapa pun nominalnya, memulai nabung atau investasi udah merupakan langkah awal yang bagus banget buat nyiapin masa depan kita yang lebih baik.

Next time saya akan bahas reksadana lengkap dengan simulasi asli hitung-hitungan reksadana di portofolio saya supaya ada gambaran kayak gimana naik-turunnya.

p.s. Kalau ada yang kurang tepat dari penjelasan saya di postingan ini, tolong beri masukan ya. Mari kita belajar sama-sama.

p.p.s. Saya nggak bahas obligasi karena emang belum tertarik nyoba. Teman-teman yang udah pengalaman, ditunggu sharing-nya.

Post a Comment

0 Comments