[Sharing] Cara Mendapatkan Skor 600+ di TOEFL ITP "Tanpa Belajar"

Beberapa waktu yang lalu, Selasa sore tanggal 13 November 2019, saya hampir melorot lemes ke lantai saking leganya.

Tahu kenapa?

Karena... ini:

Tanggal lahir ditutup karena toh semua orang tahu saya sebaya dengan Lucas NCT, cobain kuy~

Gimana nggak lemes, coba? Saya dapet skor 627 di ITP TOEFL! Bahkan teman sekamar saya sampai bilang, “Kasih tips, dong, biar bisa dapat skor TOEFL setinggi itu.”

Setelah dapat komentar begitu, saya jadi mikir dan mengingat-ingat apa aja yang udah saya lakukan selama ini dalam belajar bahasa Inggris. Oh ya, disklaimer dulu nih: saya nggak menempuh pendidikan di jurusan yang berkaitan sama bahasa Inggris. Saya kuliahnya jurusan matematika, makanya skor segitu jadi semacam a big deal.




 
Big dealll! C'mon, maaan~~~

Semoga ramble kali ini bisa memotivasi kalian bahwa dapet skor 600 di ITP TOEFL itu mungkin. Banget. Meskipun kalian nggak kuliah bahasa Inggris. Dan meskipun “tanpa belajar”.

Perhatikan baik-baik, ya, “tanpa belajar”-nya pakai tanda kutip.

Nah, berikut ini adalah perjalanan saya pedekate dengan bahasa Inggris. Silakan dicontoh yang baik-baik, dan yang jelek-jelek jangan ditiru.

Part 1: Belajar TOEIC dan TOEFL di SMA, Tapi Skornya Gitu-Gitu Aja

Kali pertama saya kenal tes bahasa Inggris sejenis TOEFL adalah waktu SMA. Itu tahun 2010, dan sebagai anak kampoeng yang cuma belajar bahasa Inggris lewat buku sekolah, saya dibikin takjub sekali oleh eksistensi TOEIC dan TOEFL. Kata orang-orang, itu adalah tes yang harus dilalui kalau mau sekolah di luar negeri.

Waktu masih kecil dulu saya emang punya cita-cita sekolah di luar negeri, sih, jadi saya langsung termotivasi untuk menaklukkan si TOEIC dan TOEFL ini.

Tapi, ternyata, tidak semudah itu, Ferguso. Hahaha.

Kelas satu SMA, di sekolah saya ada semacam sesi wajib belajar persiapan TOEIC. Ada dua jam pelajaran per minggu yang emang dialokasikan untuk itu. Saya udah lupa detailnya pelajaran untuk persiapan TOEIC itu kayak gimana, yang jelas banyak gambar-gambar yang harus dicocokin sama teks gitu deh. Kelas dua dan kelas tiga SMA, kami belajar prediksi TOEFL. Di awal semester ada pretes, kemudian selama satu semester ada sesi belajar, dan di akhir semester selalu ada postes.

Dan skor saya... segitu-segitu aja. Nyaris nggak ada perkembangan berarti.

Selama SMA, sampai saya lulus dan masuk perguruan tinggi, skor TOEFL Prediction saya hanya berada di kisaran 420 sampai 460.

Belajarnya udah tiga tahun, tapi nggak tahu kenapa kuping saya tetap bebal untuk mendeteksi kata-per-kata yang muncul di sesi Listening. Kalau speakers-nya ada ngomong “computer”, ya saya pilih jawaban yang ada “computer”-nya. Kalau speakers-nya nyebut “calculator”, saya juga langsung pilih jawaban yang memuat kata “calculator”. Hahaha. Padahal kalau dipikir-pikir sekarang—ketika kuping udah nggak budeg-budeg amat ini—jawaban sesi listening ternyata banyak yang implisit.

Dulu, ngerjain sesi Structure and Written Expressions pun saya semata-mata cuma mengandalkan insting dan prinsip enak-didengar-atau-tidak. Kalau dibacanya enak, ya saya pilih jawaban itu. Kalau nggak enak didengar, berarti bukan.

Sesederhana itu. Suram, ya. Hahaha.

Ya gimana. Waktu itu saya emang nggak terlalu ngeh harus memilih kata benda yang bagaimana, mengubah kata kerja yang seperti apa, atau mengoreksi kata sifat yang mana.

Part 2: Nggak Belajar TOEIC dan TOEFL di Kampus, Tapi...

Awal-awal jadi mahasiswa, saya ada English Proficiency Test wajib di kampus. Saya ingat betul, itu dua hari setelah ospek, eh, PKPT. Dari hasil tes itu, saya dinyatakan masuk ke kelas bilingual yang diproyeksikan untuk mempersiapkan guru sekolah RSBI (ngomong-ngomong, rest in peace, RSBI). Selama empat tahun di kelas bilingual itu, saya akhirnya banyak terpapar buku-buku berbahasa Inggris dan juga terpaksa menulis serta berbicara dalam bahasa Inggris. Itu pun dengan kosakata terbatas, karena saya kuliah jurusan matematika. Tulisan bahasa Inggris saya nggak jauh-jauh dari urusan hitung-menghitung dan pembuktian teorema.

Tahun 2015, saya sempat kepilih ikut sebuah konferensi yang diadakan YSEALI di Bandung dan langsung merasa bego—pake banget—begitu melihat peserta-peserta lain melakukan presentasi proyek dengan sangat lancar sedangkan saya gagap. Hahaha. Belum lagi waktu gala dinner, saya kebagian duduk sebelahan sama seorang mentor dari Singapura yang aksen bahasa Inggrisnya agak “menantang” untuk ditangkap oleh kuping saya—yang ternyata masih bebal juga meski konon udah dilatih di kelas bilingual.

Saat itu juga saya langsung nyadar, kelas bilingual saya itu cuma permulaan.

Saya. Masih. Harus. Banyak. Belajar.

Cuman, yah, niat tinggallah niat. Hahaha. Saya nggak pernah sengaja bikin program belajar bahasa Inggris dengan serius gitu. Tapi sejak kuliah di kelas bilingual, saya emang udah mulai nyaman baca novel dan nonton video-video berbahasa Inggris, sih. Yah, meskipun kadang nggak nangkep juga kalau videonya tanpa transkrip.

Nah, menjelang ujian skripsi, saya baru mulai merasa kemampuan bahasa Inggris itu penting. Telat banget, emang. Gara-gara sempat ngintip persyaratan beasiswa LPDP, saya iyain ajakan teman untuk kursus persiapan TOEFL ITP dengan harapan saya bisa tahu kemampuan saya sejauh mana dan harus ditingkatin dengan cara apa.

Waktu itu, kursusnya sepuluh kali pertemuan, kalau nggak salah. Sebelum mulai kursus, ada semacam pretes dan dengan syok saya mendapati skor saya adalah 567.

Huwooo, aku terkejoed!

Awalnya, saya kira skor saya nggak akan jauh-jauh dari 450-an kayak waktu lulus SMA. Tapi tanpa saya sadari, selama hampir empat tahun itu ternyata skor saya sampai sekitar 100 poin secara... organik dan alami.



Maksudnya, saya nggak ngelakuin program belajar khusus persiapan TOEFL, gitu.

Singkat kata, kursus yang sepuluh kali pertemuan itu berlalu gitu aja. Saya lagi-lagi dibikin takjub karena saya ngerasa udah familiar dengan hampir semua yang diajarin oleh tutor. Saya sendiri bertanya-tanya, apa yang bikin saya begini? Dulu di SMA, kemampuan saya nggak berkembang meskipun ada program belajarnya dan ada buku latihannya sendiri. Sedangkan selama kuliah, nggak belajar tapi malah berkembang?

Saya bersyukur banget karena saya ngerasa ada sense tersendiri yang terbentuk secara alami dari kegiatan baca-dan-nonton (tanpa diniatin belajar) yang dilakukan secara terus-menerus selama empat tahun itu. Di akhir periode kursus—sekitar bulan Juni 2017—skor saya masih di kisaran 550-an. Tapi sampai saat itu saya belum pernah ambil TOEFL ITP betulan, sih.

Nah, terakhir, sekitar tiga bulan yang lalu waktu diadakan tes TOEFL di sekolah tempat saya ngajar, skor saya 553.

Karena itu, saya simpulkan bahwa kemungkinan skor saya nggak akan jauh-jauh dari 550. Yah, mungkin naik atau turun sedikitlah. Jadi, berbekal kenekadan itu, saya pertaruhkan duit lima ratus ribu untuk mendaftar ITP TOEFL di UPT Bahasa Universitas Lambung Mangkurat.

Pada tanggal 2 November 2019, saya akhirnya ikut tes ITP TOEFL betulan. Agak deg-degan juga sebetulnya, takut dapat skor jelek padahal biaya tesnya mahal. Ngomong-ngomong, biaya pendaftaran lima ratus ribu itu bisa buat beli mie ayam 35 porsi kalau di Kalimantan sini.

Sori, jadi bahas mie ayam. Maklum, saya emang anggota dewan kehormatan grup elit Mie Ayam Forever.

Btw, saya kangen banget sama mereka. :')


Waktu tes, di sesi Listening, ada lima soal yang saya nggak terlalu yakin dengan jawabannya karena saya sempat meleng. Salah satunya adalah soal nomor 2. Sayang banget. Padahal dialognya singkat, Di sesi Structure and Written Expression, ada sekitar lima soal juga yang saya nggak yakin benar. Lalu di sesi Reading Comprehension, saya udah semacam embuhlah-bene-wis. Saya udah nggak berminat ngecek ulang. Hahaha.

Seminggu kemudian, waktu buka amplop cokelat besar kiriman dari UPT Bahasa ULM, saya udah nyiapin diri. Kalau skor saya ternyata di bawah 550, saya udah bertekad bakal ngulang ikutan tes lagi bulan depan. Sayang, sih, duitnya. Lima ratus ribu, bo’. Tapi mau gimana lagi. Target skor saya minimal 560.

Tapi ternyata Tuhan masih berbaik hati sama saya. Huhuhu. Skor saya 627. Dengan skor segitu, saya masuk kategori Gold, setara dengan C1 kalau di CEFR.

Siapa yang nggak mau nangeees, coba?!

Jadi intinya, selama empat tahun, nggak terasa skor saya bisa naik dari 430-an ke 600-an dengan “alami”. Secara teknis, saya memang nggak belajar, sih, sekarang saya menyadari bahwa semua yang saya lakuin berikut ini adalah pembelajaran nggak langsung:

Membaca Bacaan Berbahasa Inggris Bikin Kita Kaya Kosakata dan Idiom

Bukan, bukan jurnal ilmiah. Nggak perlu memaksakan diri, baca aja apa pun yang disuka. Suka baca fanfiction Korea? Bagus juga tuh, asalkan yang kamu baca bukan FF semacam yang sering muncul di fanpage “Wattpad Screenshots That Make You Want to Kill Yourself.” Hahaha.

Kalau saya, sih, baca novel. Dan itu bikin kosakatanya nempel banget di otak.

Karena sering baca novel yang kosakatanya nempel, beberapa kali saya ngerasa sangat terbantu waktu ngerjain sesi Reading. Ini nih beberapa kata yang saya kenal dari novel dan pernah muncul di Reading Comprehension TOEFL Prediction:


Benign vs malignant

Kosakata ini saya dapat waktu saya baca novel terjemahan asal Tiongkok berjudul “Didi” (klik di sini untuk baca resensinya). Nah, tokoh utama dalam cerita itu divonis terkena kanker, trus dia nanya ke dokter, “Is it benign, or malignant?”

Dijawab, “Malignant.”

Dari situ saya jadi tahu, kalau benign itu artinya jinak/tidak berbahaya, dan malignant itu ganas/harmful. Dan sampai sekarang, tiap menemui kata “benign” atau “malignant” saya langsung keingat adegan di novel itu. Nggak pernah lupa.


Gyrate

Lagi-lagi dari adegan di novel nih. Ceritanya, dua tokohnya lagi... yah, you know what. Hahaha. Betewe bukan novel stensilan, yaaa, yang saya baca itu. Cuman ya emang bukan teenlit. Dan dari kalimat-kalimat penjelasnya, saya jadi tahu kalau gyrate artinya berputar. Hm, agak-agak nganu, ya.


Sizzle

Nah, kalau kata ini saya dapat dari adegan waktu seorang tokoh di novel lain yang saya baca sedang bercerita tentang masa kecilnya. Dia korban child abuse. Dia bercerita bahwa punggungnya pernah di-“setrika” sama bapak tirinya, lalu kalimat berikutnya yang dia ucapkan adalah, “You will not forget the sizzling sound of burning meat.” Dari situ saya tahu, bahwa “sizzling” itu semacam suara daging yang dibakar, kayak barbekyuan di draKor-draKor gitu.


Wiped up

“I was utterly wiped up every single day.” Utterly artinya semacam “total”, sedangkan wiped out, worn out, artinya kecapekan.


Blasphemy, assassin, delicate, slender, on top of someone’s lungs (idiom)

Semua kata dan idiom ini saya tahu artinya dari memahami konteks yang ada di novel. Bukan dari buka kamus.

Itu beberapa contoh aja, dan masih banyak lainnya.


Nonton DraKor dengan Subtitle bahasa Inggris

Sejak terpengaruh ikutan nonton drama Korea, saya beberapa kali dibikin nggak sabar menunggu rilisnya episode dengan terjemahan bahasa Indonesia. Sedangkan subtitle bahasa Inggris biasanya cepet banget rilisnya, cuma selang sehari dari episode aslinya di Korea. Karena nggak kuat nahan penasaran tentang episode berikutnya, saya terpaksa download lalu nonton episode yang terjemahannya adalah bahasa Inggris.

Dari situ, saya jadi tahu istilah-istilah tertentu yang nggak ada dalam kehidupan sehari-hari.

Saya ingat, waktu itu draKor Remember; War of the Son yang dibintangi Yoo Seung-ho lagi nge-hits banget dan saya selalu nonton secara online pada H+1 dengan subtitle bahasa Inggris. Dari membaca dialog-dialognya, saya jadi tahu arti istilah-istilah dalam dunia hukum semacam trial, verdict, sentence, attorney, defendant, dan lain-lainnya bahkan tanpa buka kamus. Dan kosakata-kosakata yang didapat dengan cara begitu tuh selalu nempel, lho. Beda dengan kalau saya emang sengaja hapalan.

Menonton Video Berbahasa Inggris dengan Subtitle Berbahasa Inggris

Saya lupa sejak kapan saya mulai nyaman nonton video-video berbahasa Inggris. Saya biasa nonton Asian Boss, kemudian channel-nya Kati Morton (karena saya tertarik dengan isu kesehatan mental), dan Geography Now. Saya juga suka nonton channel Epicism yang terkenal dengan aksen Chinese-nya. Hohoho. Nah, saya merasa dari situlah kemampuan listening saya membaik.


Cara Paling Ampuh: Temukan Style-mu Sendiri

Tutor saya waktu kursus sepuluh pertemuan dulu sering bilang bahwa pada sesi Listening, sebelum speakers mulai bicara, kita sebaiknya baca sekilas dulu pilihan jawabannya. Dengan begitu, kita bakal bisa mengira-ngira dialognya tentang apa.

Tapi cara ini nggak berlaku buat saya. Dari yang saya amati, pilihan jawaban di soal-soal Listening nggak selalu merujuk pada satu topik. Kalau saya baca pilihan jawabannya duluan, saya malah jadi sibuk menebak-nebak topik pembicaraannya sehingga saya jadi nggak konsen. Saya lebih suka nggak lihat pilihan jawabannya sama sekali. Saya biasanya merem waktu dengerin dialog, fokus memahami, baru setelahnya ngelihat pilihan jawaban.

Tapi tentu saja, jangan gunakan metode “tidak membaca duluan” ini waktu ngerjain soal Listening-nya IELTS. Siap-siap aja duit dua ratus Dollar-mu melayang. Hahaha.

Oke, sekian dulu, yaaa. Semoga postingan saya kali ini bisa memperkaya khazanah (tsaaah) tips dan trik persiapan ITP TOEFL-mu.

Good luck.

Post a Comment

3 Comments

  1. Susah susah gampang ya ternyata untuk dapat skor maksimal di ujian TOEFL. Nah, ayuk belajar TOEFL disini Belajar TOEFL Online dengan Cepat: Panduan Lengkap

    ReplyDelete
  2. Bahasa Inggris itu penting ya guys, tapi sertifikat kecakapan berbahasa Inggrisnya juga penting lohh! Pentingnya Sertifikat IELTS dan TOEFL

    ReplyDelete