Judul: Chartreuse 1318
Penulis: Ida R.
Yulia (IG: @missidasensei)
Penerbit:
Penerbit Lingkarantarnusa
Tahun terbit:
2020
ISBN: 978-623-7615-15-6
Dimensi buku:
13cm x 19 cm, x+604 halaman
![]() |
Kavernya nih. <3 |
Blurb:
Kau tahu hal apa yang
paling menyakitkan? Ketika kau ingin mengakhiri hidupmu, tapi kemudian kau
ingat kau masih memiliki keluarga yang harus kau perhatikan. Adikmu
satu-satunya, jauh-jauh kau jemput dari negara antah berantah yang selama ini
asing bagimu. Kau menjadi takut tiap kali memegang pistol ataupun pisau. Kau
terpaksa harus berpikir berkali lipat sebelum benda itu menyentuh tubuhmu,
mengakhiri napasmu. Kau ngeri membayangkan dia yang akan melihatmu pertama
kali, tergolek dingin tanpa tanda-tanda kehidupan dengan nadi tersayat atau
kepala hancur kena letusan pistol. Kau bahkan sampai tergugu karena sangat
yakin hal itu bisa membuatnya hancur, dan penyebab utamanya adalah dirimu.
Terkadang rasa sakit ini
melebihi apa yang bisa kutanggung. Menyesakkan, membuatku ingin segera hengkang
dan pergi ke tempat di mana aku tak harus merasakan apa pun lagi. Ada satu
bagian di otakku yang tak mampu kusembuhkan dan begitu keras kepala ingin seluruh
raga ini menyerah saja, sewaktu-waktu. Akan tetapi, bagaimana aku bisa
meninggalkan dunia ini jika Ezra masih menjadi tanggung jawabku?
Alexander Aranda, 21
Chartreuse 1318
Buku terakhir trilogi
Chartreuse
***
Saya ingat betul, sebelum
mulai membaca bab pertama, saya sudah merasa Chartreuse 1318 adalah karya yang istimewa. Bukan cuma karena
tanggal terbitnya sudah ditunggu lama, melainkan juga karena di bagian
awal buku, Ida R. Yulia menyisipkan
halaman khusus bertuliskan:
SPECIAL
d e d i c a t e
d t o :
The Real Alex – Musa, RIP
May God take care of you, hold you safe in Heaven.
You are truly a warrior of the greatest war ever.
Forever missed, forever remembered.
Kali pertama membukanya,
deretan kalimat itu langsung membuat saya kehilangan kata-kata dalam
sekejap dan sejumput rasa sedih menyambar
hati saya bahkan ketika saya belum menyentuh alur cerita. Fakta bahwa penulis
terang-terangan membuat lembar tersendiri yang menyebutkan bahwa kisah ini
didedikasikan untuk seorang almarhum penyintas kejahatan seksual membuat novel ini jadi punya makna yang dalam. Membaca halaman demi halamannya pun jadi terasa lebih mengena, sebab mau tak mau saya jadi merenungkan kenyataan bahwa Alex-Alex lain di
luar sana memang sungguhan ada: hidup, nyata, dan mungkin membutuhkan bantuan kita.
Jika saya memposisikan diri sebagai orang yang belum pernah membaca serial ini, lalu saya disodori Chartreuse 2014 dan
Chartreuse 1318 dalam keadaan tersegel dan satu-satunya info yang saya punya
adalah blurb-nya, bisa jadi saya akan menyangka bahwa buku terakhir ini semata-mata menyuarakan depresi dan pergulatan
batin si tokoh utama—Alexander
Aranda—akibat trauma masa lalu.
Tidak salah, memang.
Namun, pada kenyataannya, apa
yang dituangkan penulis di setiap lembaran dari Chartreuse
1318 ini bukan cuma Alexander yang galau, “Ugh, gue nggak kuat lagi,
gue pengen mati aja, tapi adek gue ntar gimana?”.
No.
Jika kamu tertarik dengan isu kesehatan mental dan kebetulan juga penyuka
bacaan ber-genre action-thriller,
maka saya yakin Chartreuse 1318 akan memenuhi ekspektasimu tentang karya fiksi
keren yang sesungguhnya. Melalui
kisah tokoh utama, Alexander Aranda, penulis bukan hanya mengajak pembaca
menyelami beratnya hidup seseorang yang jiwanya “terluka”, melainkan juga
menyajikan petualangan menjelajahi kerasnya kehidupan di Kota San Pedro
Sula—kota terbesar kedua di Honduras yang sampai awal tahun 2016 masih memegang
gelar “the murder capital of the world”.
“Rumit sekali. Apa susahnya menghabisi nyawa di Honduras?
Banyak orang di sini yang lebih baik mati
daripada hidup...”
(Roel Mejia – halaman 47)
Alexander, yang di buku sebelumnya diceritakan sudah
tumbuh dewasa namun masih menderita efek jangka panjang trauma, di buku ketiga
ini harus berjuang lebih keras. Selain harus berdamai dengan inner child-nya sendiri, pemuda kesayangan semua pembaca ini juga
harus mencari cara agar bisa lepas dari sang paman yang tetap gigih
menginginkannya, baik sebagai letnan
maupun sebagai “mangsa”.
Di Chartreuse 2014, Marco Aranda telah bebas dari penjara, tapi memang belum sempat ada
konfrontrasi langsung antara ketua geng La Dieciocho itu dengan Alexander. Meski begitu, di tempat terpisah,
mereka diceritakan tengah menyusun rencana masing-masing: Marco dengan
rencananya membawa Alexander kembali ke dalam kendalinya, sementara Alexander terus memupuk dendamnya terhadap Marco dengan bergaul
bersama geng Mara Salvatrucha (MS13) yang notabene musuh bebuyutan La Dieciocho.
Nah, di Chartreuse 1318, konfrontasi paman-keponakan
inilah yang sangat ditunggu, terutama setelah penulis meng-unpublish sebagian karyanya di Wattpad dan menyatakan bahwa ada perubahan plot yang cukup
mendasar dalam versi cetak. Sebagai orang yang beruntung pernah membaca
versi lawasnya, saya dibuat
penasaran setengah mati menebak apakah konfrontasi itu pada akhirnya akan membuat Alexander menyerah pada “takdir”nya
menjadi letnan La Dieciocho, atau ia
malah berkongsi dengan MS13 dan berhasil melaksanakan aksi balas dendamnya terhadap Marco.
Jika dibandingkan dengan si
anak tengah, Chartreuse 2014 yang—meskipun
gelap tapi—lumayan banyak
adegan manis-manisnya berkat
interaksi Chacho-Ezra, buku ketiga ini
membawa aura yang agak berbeda. Chartreuse 1318 terasa lebih gelap dan
intens.
Bayangkan saja. Cerita dibuka oleh bab berjudul “Selamat Ulang Tahun” dalam bahasa Spanyol—Cumpleaños Feliz, merujuk pada kunjungan kejutan Marco
ke tempat tinggal Alexander saat dini hari, tepat ketika pemuda itu berulang
tahun yang ke-21. Dengan kesehatan
yang belum pulih betul akibat
terkena tembakan di Barrio Rivera (baca Chartreuse 2014) dan diperparah dengan kondisi kejiwaan yang rentan, bisa
dimengerti kalau Alexander akhirnya tumbang akibat trigger berupa kemunculan sang paman.
Dari bagian ini,
pembaca seolah diingatkan kembali bahwa bahkan setelah sekian lama dan seberapa
pun besarnya Alexander menyimpan dendam, ternyata dia masih belum sanggup
berhadapan dengan Marco. Alex boleh saja sesumbar akan membunuh Marco dengan
menembak pria itu tepat di batok kepala, tapi dia tetap harus menerima
kenyataan bahwa dengan keadaan psikologisnya yang rumit itu, ternyata melawan
sang paman tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Sementara itu, tumbangnya Alexander dianggap Marco sebagai momentum yang tepat. Marco menculik Alexander dan
Ezra sekaligus, membuat
Chacho mengerahkan segala upaya untuk menyelamatkan mereka. Peristiwa tersebut juga
menjadi penanda dimulainya konflik panas antara geng La Dieciocho dengan Mara Salvatrucha, mengingat bahwa kawasan tempat tinggal Alexander sebenarnya masuk wilayah
kekuasaan Mara. Masalah semakin kompleks akibat keterlibatan Juanito
Navas, sahabat Marco, yang justru membantu Alexander melarikan diri dari penyekapan. Marco, merasa rencananya disabotase oleh rekan
sendiri, bersumpah akan “berurusan lagi” dengan Juanito setelah
menangkap kembali Alexander, tapi ternyata
keadaan berbalik arah tidak seperti yang mereka duga sebelumnya. Marco
terpaksa membiarkan Alexander lepas, sementara demi memastikan Alexander selamat, Juanito Navas berakhir tewas.
Dan yang terjadi setelahnya adalah kekacauan besar, tepat seperti yang tertera pada judul
“1318” yaitu la guerra de la pandillas alias perang
geng: Mara Salvatrucha dengan
simbol angka 13 versus La Dieciocho yang menggunakan simbol angka 18.
13 vs 18
(sumber gambar: Google)
Ngomong-ngomong tentang
perang geng, rasa-rasanya saya ingin memberi penulis apresiasi berupa tepuk
tangan saking takjubnya. Menulis tentang perang geng jelas memerlukan riset yang
sangat mendalam, sebut saja yang paling jelas yaitu tentang spesifikasi senjata
apa saja yang mungkin digunakan. Sembari menikmati alur cerita, saya jadi tahu apa
itu senapan Nemesis Vanquish dan Dragunov, juga M252 dan julukan Willy
Pete atau el fosforo blanco—salah satu jenis bom
mortar asap.
Berkat adegan penggerebekan
kebun koka milik Mara Salvatrucha juga, saya jadi kecipratan pengetahuan baru
tentang proses produksi kokain di Amerika Tengah. Atau ketika Alexander teler
pasca-dicekoki “Blue Nitro” oleh
Marco, dialog-dialog ringan yang digunakan penulis secara tak langsung membuat
saya jadi tahu lebih dalam tentang Gamma
Hydroxybutyrate (GHB), obat depresan yang sempat banyak
dibahas saat ramai skandal kelab Burning
Sun dan kasus Reynhard Sinaga.
Tidak cuma itu, sebagai
tambahan dalam latar cerita, ada bagian di mana penulis menyisipkan kisah nyata
tentang Cristian Ponce, salah satu pimpinan geng yang pernah sangat berpengaruh
di San Pedro Sula sekitar tahun 2012. Singkat kata, detail-detail mengesankan seperti
ini membuat Chartreuse terasa sangat
nyata dan secara tidak langsung, pembaca juga banyak mendapat pengetahuan baru
dari sana.
Meski begitu, sisi-sisi
emosional dalam novel ini pun tidak bisa dipandang sebelah mata. Seperti buku
sebelumnya, aspek-aspek sederhana seperti keluarga, persahabatan, dan
kepedulian terhadap sesama tetap dijadikan unsur penunjang cerita yang memberi
warna tersendiri pada perjuangan Alexander. Dari sana pula nilai-nilai
kehidupan seperti cinta, kasih sayang, serta pengorbanan coba untuk ditampilkan.
Oh, ya. Di buku ini,
akhirnya disebutkan bahwa Alexander mengidap Dissociative Identity Disorder (DID) atau yang biasa disebut orang
awam sebagai kepribadian ganda. Bagusnya,
“pengumuman” ini dikemas dengan cantik dalam bentuk monolog Alexander seperti
berikut ini:
Saat itu aku masih bersekolah asrama dan terapisku di New York mendiagnosis bahwa aku memiliki Dissociative Identity Disorder, semacam gangguan kepribadian. Terkadang, selain sifat tenangku, aku bisa berubah menjadi Alex Nekat, Alex Si Pemarah, atau yang paling menyebalkan, Alex Kecil, anak sepuluh tahun yang kubenci.
(Alexander, Halaman 104)
Selebihnya, hal-hal yang
terjadi pada Alexander sebagai penderita DID disuguhkan secara tersirat lewat banyak adegan dan
interaksi antartokoh serta jurnal yang disusun oleh Miguel Aranda—almarhum ayah Alexander—semasa hidup. Alexander diceritakan sering
berubah menjadi “orang lain” seperti kehilangan jati diri, bahkan pernah mencekik
ayahnya sendiri suatu malam. Dalam jurnal itu pula, Miguel menyatakan
penyesalannya yang begitu besar karena sempat lalai menjaga Alexander di masa
lalu.
Sama seperti membaca surat wasiat
Miguel di buku sebelumnya, membaca jurnal milik almarhum ayah Alexander membuat
saya auto-ambyar.
Kemudian, selain monolog
Alexander dan catatan ayahnya, pembaca juga dibawa menyelami isi pikiran
beberapa tokoh lain. Tak kurang dari delapan halaman dalam bab yang berjudul “Alexander, A los Ojos de los Mios (Alexander
di Mataku)”, penulis menghadirkan perspektif Marco dengan menggunakan sudut
pandang orang pertama.
Tak ada yang lebih nikmat daripada mencicipi
harum aroma tubuh anak kecil tak berdosa.
(Marco Aranda – halaman 353)
Tiap membaca buku, saya sebenarnya
hobi mengulang untuk mendapatkan feel
tertentu, tapi tidak dengan bagian yang satu itu. Saking totalitasnya penulis mendeskripsikan
isi hati Marco, tidak perlu dua kali baca bagi saya untuk menyimpulkan bahwa desain
penokohan Marco memang luar biasa.
Nah, untungnya,
untuk menetralisir perasaan
ngeri akibat membaca monolog Marco, ada juga versi Chacho. Ini salah satu yang sangat saya suka:
Aku tahu ada yang tak beres dengan Alexander. Sejak kami bertemu kembali di Barrio Cabanas pada masa awal aku menjabat sebagai El Jefe Mara Salvatrucha, dia tak lagi hanya membawa dirinya. Seperti ada beberapa versi Alexander yang kujumpai setelah itu.
(Chacho – halaman 532)
Dengan melihat Alexander dari
sudut pandang Chacho, saya merasa
tenang seolah diberi reassurance
bahwa ternyata Alexander masih
punya orang-orang yang
memahami, menerima, dan menyayangi dia apa adanya. Chacho mungkin sekilas terlihat suka serampangan, tapi pembaca jadi tahu bahwa dia sangat peduli dan paling mengerti Alexander.
Jujur saja, saya sangat
senang mendapati kenyataan bahwa semua tokoh, bahkan yang awalnya saya kira
hanya figuran, ternyata punya peran penting yang membangun alur cerita. Bukan
cuma Juanito dan keluarga Luis
Zelaya, bahkan Anna Caldeira,
Magdalena, Filipe, Jose, dan semua rekan kerja Alexander di rumah jenazah serta
pastor yang sempat ditemuinya di suatu gereja ternyata punya andil besar yang
sangat berpengaruh pada susunan kejadian demi kejadian. Meminjam istilah salah
satu pembaca lain—saya lupa baca di mana—jika tidak ada peristiwa super drastis
yang menimpa orang-orang tersebut, Alexander mungkin masih akan “goblok” dan bingung
sendiri dengan pikirannya yang kacau, tidak tergerak mengambil langkah berani
untuk melawan sang paman.
Perkembangan karakter dari
beberapa tokoh juga layak diacungi jempol. Sebelumnya, pembaca mungkin terbiasa
memahami segala sesuatu hanya dari sudut pandang Alexander: Chacho menyebalkan,
Chacho suka mengambil barang-barang tanpa izin, dan Chacho merepotkan. Tapi di
buku ketiga ini, setelah melalui banyak hal, Alexander tampak mulai belajar
menempatkan diri di posisi orang lain.
Alexander awalnya berpikir, rasanya melelahkan berteman dengan seorang ketua geng seperti Chacho. Namun, setelah melewati pagi ini, ia tersadar; Chacho pastilah juga lelah berteman dengannya.(Halaman 217)
Ezra juga mengalami pendewasaan diri
yang membanggakan, salah satunya disebabkan karena Chacho blak-blakan menceritakan masa lalu Alexander padanya. Dari sanalah Ezra berubah dari
sosok anak sepuluh tahun yang mengatai kakaknya “payah” menjadi anak yang bahkan
berani menodongkan pistol pada Marco ketika Alexander tidak berdaya.
Ezra memegang Colt dengan tangan kanan, sementara kini tangan kirinya memutar kunci, membuka pintu ruang tamu. “Aku tak tahu kau ngomong apa.” Ezra mendorong pintu agar terbuka lebih lebar dengan kakinya. “Sekarang, keluar. Jangan ganggu kami.”
(Halaman 70)
Satu hal lagi yang
lumayan membawa angin segar adalah karakter Esteban Ostillo. Jika sebelumnya Esteban sekadar dikenal sebagai bawahan
Chacho, kali ini anggota MS13 Barrio Cabañas yang menjadi wakil Chacho ini tampak
lebih garang dan macho. Bagian
yang paling berkesan bagi saya adalah adegan di halaman 375, ketika dia dengan santainya membunuh petugas
motel dan ketika diprotes Alexander, responsnya hanya:
“Oh, sederhana saja. Dia membuat tiga Mara yang bertugas di sini mati
dan dia masih berani menatapku.” Esteban mengedikkan bahu.
(halaman 375, the birth of Tebi’s fanclub, LOL)
Tidak hanya itu, tidak bisa
dimungkiri juga bahwa Esteban punya sumbangsih yang besar bagi keselamatan
Alexander, terbukti ketika Dewan Elite MS13 menekan Chacho untuk mengeksekusi
Alexander yang diduga telah menolak ajakan bergabung, Esteban ikut campur
tangan memberikan argumen tentang betapa Alexander selalu bersikap baik
terhadap orang-orang Mara Salvatrucha.
Saya akhirnya bisa melihat
Esteban sebagai letnan betulan, bukan
hanya korban bully Chacho saja.
Hahaha.
Kemudian, bukan Chartreuse namanya kalau tidak berhasil
membuat saya tertawa di saat-saat krusial. Ketika Ezra berada dalam penyekapan
Marco, ia sempat ditelepon Chacho yang sedang dalam perjalanan untuk menolong
dan ini yang terjadi:
“Ezito, video, oi! Ini video call! Jesucristo, kukira kau tadi
bersama hewan apa, ternyata mulutmu!”
(Chacho, halaman 84)
Duh, nggak ada akhlak,
memang, mereka ini.
Kalau dipikir-pikir, akhir
dari trilogi ini memang tidak sepenuhnya membahagiakan, tapi sangat sempurna karena penulis memilih skenario yang sangat
masuk akal. Setelah gempuran
kesuraman bertubi-tubi, penulis tidak lantas memilih jalan aman dengan membuat semua orang bahagia, dan bagi
saya pribadi, keputusan tersebut sangat
tepat.
Oh, ya. Di bagian awal
buku, ada selipan lirik lagu Brother-nya
Kodaline. Setelah menamatkan Chartreuse
1318, saya yakin pembaca akan paham mengapa lagu itu yang dipilih untuk
mewakili buku ini: liriknya sangat cocok dalam menggambarkan liku-liku persahabatan
Alexander-Chacho.
"I've got you, brother..."
Brother - by Kodaline
Secara umum, bisa mengenal
Alexander yang bertahan hidup sebagai seorang penyintas kejahatan seksual
adalah suatu petualangan berharga bagi saya. Selama menjadi saksi perjuangan
Alexander, saya telah dibuat larut dalam berbagai emosi yang pada akhirnya
memberi saya insight baru terhadap
banyak hal. Berakhirnya trilogi Chartreuse
ini membuat saya sangat puas, tapi juga merasa kurang seolah tidak ingin serial
ini selesai saking kerennya.
Sekian.
P.S.
Meskipun beberapa part sudah dihapus untuk keperluan
penerbitan, kamu masih bisa membaca sebagian serial Chartreuse di Wattpad @missidasensei.
0 Comments