Judul: Chartreuse 2014
Penulis: Ida R. Yulia
Penerbit: Penerbit Multisia Tenan Jaya (bekerjasama
dengan Arsha Teen)
Tahun terbit: April 2018
ISBN: 978-602-6615-73-2
Dimensi buku: 14cm x 21cm; 476 halaman
Blurb:
Pernahkah kau
begitu mengidolakan seseorang hingga tak ada ruang di hatimu untuk yang lain?
Menganggap orang tersebut adalah panutanmu, pahlawanmu, bahkan penyelamatmu?
Dia begitu percaya diri, dia melindungimu, dia menuruti segala maumu, dan tanpa
sadar kau rela memberikan apa saja untuknya. Apa saja.
Dan, kemudian ia
berubah menjadi iblis. Meremukkanmu hingga terjun bebas ke lembah paling dasar.
Mencabuti sayapmu agar kau tak mampu terbang dan bangkit, agar kau tetap berada
di bawah sana, supaya ia mudah mencarimu. Meski demikian, hanya dia yang
kautunggu untuk membawamu kembali mengepakkan sayap, membuatmu muak pada diri
sendiri.
Pernahkah kau
mengagumi seseorang, sekaligus ingin mencakarnya sampai habis, menyakitinya
hanya untuk membuatnya merasakan apa yang telah kautanggung selama ini ketika
bersamanya? Mampukah kau menyakitinya jika rasa kagummu padanya tidak habis
juga? Bagaimana jika kini ia mengincar seseorang yang ingin kaulindungi? Masih
bisakah kau berdiri melawan, sementara dulu kau tak sanggup berbuat apa-apa
untuk melindungi dirimu darinya?
***
Saya rasa, bukan
hal yang berlebihan apabila di halaman 3 dari buku kedua trilogi Chartreuse ini, penulis memperkenalkan bahwa
“Chartreuse 2014 merefleksikan sosok
Alex, perjuangan dan kejatuhannya, usahanya untuk bangkit kembali di tengah
pergulatannya menghadapi trauma masa kecil dan depresi.”
Tidak lama
menjelang bebasnya Marco Aranda setelah sepuluh tahun dipenjara, Alexander
justru kehilangan Miguel; sang ayah sekaligus satu-satunya sosok penopang yang mampu
membuatnya kuat menjalani hidup setelah tragedi menyakitkan tahun 2004 (baca Chartreuse 2004). Miguel menjadi korban penembakan
di bawah perintah “ngawur” dari Letnan geng
Mara Salvatrucha Barrio Cabañas, membuat Armando “Chacho” Ollireum
yang menjabat sebagai ketua merasa sangat bersalah dan ia bertekad akan melakukan
apa pun untuk menebus kesalahan fatal tersebut.
Pada waktu yang
hampir bersamaan sebelum meninggalnya Miguel, ibunda Alex yang tinggal di Indonesia
bersama Ezra juga mengembuskan napas terakhir karena sakit parah, membuat nasib
Ezra terkatung-katung sebagai anak yatim piatu berusia sepuluh tahun dengan
status deteni di negara orang;
terancam dideportasi ke Honduras. Alexander, tahu betul bahwa sang paman
merupakan “predator” anak-anak, tidak punya pilihan lain kecuali menempuh
perjalanan panjang ke Indonesia untuk menjemput sang adik jika tidak ingin hak
asuh Ezra jatuh ke tangan Marco.
Kedatangan Ezra ke
Honduras membuat kehidupan Alex bagai dijungkir-balikkan dalam sekejap mata. Di
usianya yang baru dua puluh tahun, Alexander yang terbiasa menyendiri mendadak
punya kewajiban mengurus Ezra seperti orang tua pada umumnya. Alexander yang
hidup berantakan berkawan kekerasan geng, kokain, dan ganja harus memastikan
Ezra bisa tumbuh dengan baik bersamanya. Keberadaan Ezra menjadi alasan bagi
Alexander untuk melanjutkan hidup, namun juga membatasi sepak terjangnya untuk
melaksanakan misi balas dendam terhadap Marco. Di satu sisi, Ezra membuat
Alexander kuat, tapi pada saat yang sama juga membuatnya tidak berdaya.
... Ia yakin, jika ia mengacungkan pistol lagi pada orang yang sama, maka bidikannya kali ini akan tepat mengenai kepala.Namun, segala kepercayaan diri itu telah menguap. Ia justru takut dan gamang sekarang. Ada sang adik yang harus ia jaga dan lindungi, dan Papa telah pergi...– halaman 159
Jika di Chartreuse 2004 kita disuguhi Alexander
kecil yang tidak berani buka suara dan orangtuanya yang tidak cukup peka, maka di
Chartreuse 2014 kita ditantang untuk
menyelami liku-liku kehidupan Alexander dewasa sebagai seorang penyintas
kejahatan seksual terhadap anak. Dengan tema seperti ini, meski penulis sendiri
menyebutkan bahwa buku tengah tidak memiliki hal yang menonjol, saya tetap
merasa buku ini tidak kalah menguras emosi dibandingkan kisah sebelumnya. Bukan
hanya karena di buku tengah ini pembaca diberi gambaran tentang betapa “rusak”-nya
Alexander akibat perbuatan sang paman, tapi juga karena penulis menghadirkan
kompleksnya persahabatan Alex-Chacho yang dikemas dengan begitu manis kendati diwarnai
oleh berbagai macam konflik menggigit dan friksi-friksi kecil yang acapkali muncul
akibat perbedaan prinsip. Belum lagi keterlibatan Ezra yang cukup dominan;
interaksinya dengan Alexander maupun keluarga Limar Pambudi yang sempat menampungnya
di Jakarta sukses membuat saya terenyuh.
Aspek lain yang
menjadi poin plus dari buku tengah ini adalah detailnya yang mengagumkan, mulai
dari deskripsi latar tempat, serba-serbi pekerjaan jurnalis televisi dan
asisten bedah mayat yang dijalani Alex, hingga percakapan yang menyiratkan
betapa menyebalkannya petugas imigrasi di bandara-bandara Amerika Serikat.
Gambaran tentang Honduras dan kehidupan sosialnya pun terasa begitu nyata, menjadi
bukti bahwa riset yang dilakukan penulis bukan sekadar main-main. Penulis juga
piawai meracik penyusunan kata-kata sehingga konten-konten yang agak sensitif
berhasil diceritakan tanpa meninggalkan kesan kelewat vulgar.
Di luar itu semua,
meski topik yang diusung cukup berat, pembaca susah berpaling dari Chartreuse karena dalam buku ini
penokohannya, menurut saya, begitu manusiawi. Banyak novel yang tokoh-tokohnya
ibarat kutub utara-selatan, murni malaikat atau total menyebalkan mendekati
iblis, tapi buku ini tidak. Ada Alexander yang tampan dan cerdas tapi “sakit
jiwa”, ada Chacho; pimpinan geng dengan kelakuan absurd yang sering tidak berdaya menghadapi Alexander yang hanya “rakyat
jelata”, ada wakil Chacho yang selalu
jadi sasaran bully sang ketua, ada
juga Letnan perempuan geng La
Dieciocho yang diam-diam menaruh hati pada Alexander.
Membenci Marco
juga bukan hal yang mudah. Meski di buku tengah ini belum ada konfrontasi Marco
dan Alex secara langsung, tapi dari interaksi antara Marco dengan tokoh-tokoh
lain, kelihatan bahwa Marco—minus “sakit” pedofilia-nya—sebenarnya karismatik
dan adorable sekali.
Seandainya mereka
ini adalah hewan-hewan di buku pelajaran IPA anak SD, saya rasanya ingin
menggambar jaring-jaring makanan: Esteban dimakan Chacho, Chacho dimakan Alex,
Alex dimakan Marco, nasib Marco ada di tangan penulis, sementara penulisnya
sendiri kabarnya diteror Alex di alam mimpi!
Selain itu, meski
ada banyak tokoh baru yang muncul, termasuk rekan kerja Alexander di stasiun
berita maupun di rumah jenazah, semua tokoh baru tersebut punya porsi yang pas
dan tidak terkesan cuma tempelan. Selingan adegan-adegan pemecah stres oleh
Chacho dan Ezra juga mau-tidak mau membuat Chartreuse
2014 menjadi lebih berwarna; semacam hiburan sejenak di sela ketegangan
yang muncul silih berganti. Coba, siapa yang akan menyangka Ezra, di Honduras
bersama Chacho, menonton film Indonesia dengan tokoh hantu-wanita-muka-datar-yang-memesan-dua-ratus-tusuk-sate?
“Itu namanya sate. SA-TE. Bakar dulu, jangan makan mentah kayak dia.”– halaman 390
Poin yang paling
penting, Chartreuse 2014 sukses
menyuarakan isu kesehatan mental dengan begitu cantik. Di dalamnya, pembaca tanpa
sadar diajak untuk mengenal efek jangka panjang dari kejahatan seksual terhadap
anak-anak, meliputi Post-Traumatic Stress
Disorder (PTSD) dan isu-isu lain yang cenderung menjadi satu paket dengan
gangguan tersebut seperti depresi, hilangnya sebagian ingatan, self-injury, hingga penyalahgunaan
narkotika. Penulis bahkan mengisahkan teknik grounding untuk mengatasi disosiasi tanpa ada kesan menggurui
pembaca.
“Aku butuh sesuatu yang kuat, Chacho. Ganja, harina, apa pun, kau punya ‘kan? Ada yang salah dengan otakku. Ada yang harus kuhentikan, atau aku bisa gila sebentar lagi.”– halaman 160
Belum lagi, kondisi
kejiwaan Alex yang rumit; ia sering menyalahkan diri sendiri dan merasa terikat
dengan sang paman yang notabene pelaku kejahatan.
“Dan, satu hal yang membuatnya ngeri, ada suatu keanehan merayap mengancam di otaknya, meniupkan ide tak masuk akal bahwa sebejat-bejatnya sang paman, setidaknya orang itu bisa mengobati rindunya akan sang ayah yang telah tiada.Mungkin memang Tio tak jahat. Tio memperlakukannya dengan istimewa dulu. Tio mencintainya. Elisa terbunuh karena dirinya mengadu. Jadi, dalam hal ini, kesalahan ada padanya, bukan pada Tio.
- halaman 159
Hanya saja, di
bagian akhir buku kedua ini, pembaca masih dibuat geregetan menunggu hasil
akhir dari perseteruan Alex-Chacho versus Marco, bagaimana Marco akan
mendapatkan karma, juga keterlibatan oknum polisi—Rodriguez—yang sejauh ini
masih abu-abu. Perjuangan Alexander masih akan berlanjut di buku ketiga, Chartreuse 1318, yang kabarnya
ditargetkan selesai pada bulan Juli 2018.
Secara umum, Chartreuse 2014 sangat layak dibaca bagi
kamu yang mencari bacaan dengan topik yang “tidak biasa”. Bagi saya sendiri, praktis
hanya ada satu hal yang membuat saya kurang puas saat membaca, yaitu munculnya kata
BERSAMBUNG di halaman 476. 😆
Sekian.
0 Comments