Halo, 2016!
Gimana liburan akhir tahunnya? Ada cerita apa saja? Saya punya oleh-oleh nih setelah refreshing
di tiga obyek wisata di Pacitan. Silakan...
Pantai Teleng Ria
Berangkat
dari Malang sekitar jam sembilan malam, saya bersama rombongan teman sekelas
sampai di Pantai Teleng Ria menjelang matahari terbit. Maunya sih lihat
matahari terbit, cuma waktu itu langit agak mendung, jadi ya gitu deh.
Ujung-ujungnya kami cuma jalan-jalan menyusuri pantai lalu pasang tikar buat
duduk-duduk sambil makan camilan—dan foto-foto, tentunya.
Subuh di Pantai Teleng Ria |
Dari
info-info yang saya dapat sebelumnya, Pantai Teleng Ria ini sebetulnya termasuk
pantai yang... yah... bisa dibilang cukup recommended
untuk dikunjungi. Selain karena cukup aman untuk main-main air, fasilitas
untuk wisatawan yang ada di pantai ini juga cukup memadai.
Tapi
itu katanya info-info yang saya dapat dari internet ya. Sewaktu saya datang,
ehm, gimana ngomongnya ya... jujur saja saya nggak terlalu terkesan. Pantainya
landai, mirip-miriplah sama pantai-pantai lain. Hari itu malah keadaannya agak
kotor, bau amis juga menyeruak di mana-mana, dan—ini yang paling mengganggu
saya—warna airnya nggak biru jernih gitu.
Well, untuk ukuran orang yang kurang menggemari
pantai—macam saya—Pantai Teleng Ria masuk kategori biasa saja.
Waktu
itu suasananya juga sepi wisatawan, dan bahkan sampai sekitar jam delapan pagi
masih belum banyak warung makan dan toilet yang buka.
Eh,
atau mungkin saya datang di waktu yang nggak pas ya? Saya ke Pacitan itu hari
Kamis, 24 Desember 2015, bertepatan dengan Maulid Nabi. Jadi, kalau kalian
pernah ke Pantai Teleng Ria dan mendapati suasana yang bagus, tolong komentar
ya. Biar saya tahu aslinya gimana. Maklum, saya ke sana juga baru sekali.
Tapi
secara umum ada satu hal yang saya suka dari Pantai Teleng Ria, yaitu kelihatan
banget kalau pantai ini dibuat sedemikian rupa supaya wisatawan bisa merasa nyaman.
Sepanjang yang saya lihat, ada banyak gazebo-gazebo yang bisa dipakai untuk
duduk-duduk menikmati pemandangan. Ada pos polisi, ada musholla, ada juga
kios-kios yang jualan makanan-makanan hasil laut. Di pantai bagian barat, ada
tumpukan batu-batu besar yang disusun sedemikian rupa setinggi kurang-lebih dua
meter yang (mungkin) berfungsi untuk “memagari” pantai kalau ombak lagi besar.
Sebenernya ini bahaya. Ciyus! |
Itu
perkiraan saya aja sih. Waktu itu mau nanya-nanya juga nggak ada yang bisa
ditanya di sekitar saya. Cuma ada satu penjual cilok yang wara-wiri di
sepanjang pantai, dan nggak mungkin juga saya nanya-nanya, karena saya lagi
nggak berselera beli. Masa iya mau nanya nganggur gitu aja? Hahaha.
Yah,
pokoknya pengalaman di Pantai Teleng Ria nggak begitu berkesan buat saya. Jadi,
lanjut ke obyek wisata berikutnya aja ya.
Pantai Klayar dan Gua Gong
Nah,
pantai yang kedua ini baru berkesan buat saya. Dengan waktu tempuh sekitar dua
jam—plus macet—dari Pantai Teleng Ria, Pantai Klayar menyuguhkan pemandangan yang
bener-bener nggak biasa.
Pertama
keluar dari pantai Teleng Ria, mengambil arah menuju Pantai Klayar, satu hal
yang paling saya ingat adalah jalanannya sepintas mirip jalanan menuju Danau
Bratan di kawasan Bedugul, Bali.
Tapi
suasana yang kayak gitu nggak bisa saya nikmati lebih lama karena semakin
menjauhi Pantai Teleng Ria, tebing-tebing hijau berganti jadi tebing-tebing
kapur. Khas Pacitan bingit-lah.
Oh
ya, lokasi Pantai Klayar ini searah dengan lokasi Gua Gong, lho. Sebenernya
saya bingung gimana jelasinnya, tapi intinya kalau kita ke Pantai Klayar, kita
bakal lewat lokasi Gua Gong juga. Karena itulah, subjudul postingan ini saya
jadiin satu: Pantai Klayar dan Gua Gong.
Lalu
yang perlu diperhatikan, untuk menuju Pantai Klayar, kita akan melewati
jalanan-jalanan perkampungan yang sempit dan kondisinya juga nggak terlalu
bagus—lebih cenderung ke cukup jelek sih, sebetulnya. Jadi, bus dan
kendaraan-kendaraan besar lainnya nggak bisa dipakai sampai ke lokasi Pantai
Klayar, cuma bisa sampai di lokasi Gua Gong.
Trus
ke Pantai Klayar-nya gimana?
Untuk
menuju Pantai Klayar, wisatawan yang menggunakan bus bisa beralih menggunakan shuttle carteran berkapasitas 13-14
orang dengan biaya Rp 250.000,- pulang-pergi pada hari-hari biasa. Waktu itu,
saya dan rombongan dimintai Rp 350.000,- dan nggak bisa ditawar-tawar lagi.
Kalau
diamati, shuttle menuju Pantai Klayar
ini merupakan modifikasi dari mobil bak terbuka yang di bagian baknya dipasang
dua kursi panjang berhadapan. Tapi nggak perlu takut kepanasan, karena di shuttle-shuttle ini dipasangi tutup juga
di bagian atas.
Untuk
rombongan kecil yang nggak sampai sepuluh orang, kalian bisa juga menggunakan
jasa ojek. Entah berapa tarifnya saya belum sempat cari info. Kemungkinan sih
agak mahal karena medan menuju Pantai Klayar nggak bisa dibilang mudah.
Memang
sih, sampai ke lokasi Gua Gong, jalanan masih lebar dan mulus, tapi dari Gua
Gong menuju Pantai Klayar, kondisinya berbanding terbalik. Selain sempit dan
diapit tebing-jurang di kanan-kiri, jalanannya juga nggak rata.
Para ojek-er setrong rute Gua Gong-Pantai Klayar |
Ini masih deket Gua Gong |
Jalannya sempit, sumpah! Nyaris nggak bisa dipake buat 'simpangan'. |
Pusiiing bala babi liat kendaraan banyak begini |
Tapi
kalau sudah sampai di Pantai Klayar, saya jamin penderitaan selama di
perjalanan akan terbayar lunas. Dengan kondisi yang jauh lebih baik
dibandingkan Pantai Teleng Ria, saya yakin pengunjung juga bakal lebih betah di
Pantai Klayar, meskipun ombaknya kurang bersahabat.
Mendekati Pantai Klayar |
Hati-hati. Jalannya turun banget ini. |
Sori, saya nggak punya fotonya Seruling Samudera |
Kalau
mau foto-foto, pengunjung juga bisa naik ke tebing-tebing, asal tetep waspada
ya. Di bagian timur pantai—dekat area Seruling Samudera—ada juga tebing yang
tinggi banget, yang kalau kita naik ke atasnya kita bisa dapat pemandangan
spektakuler. Pemandangan pantai secara keseluruhan, lebih tepatnya. Untuk naik
ke tebing yang ini, pengunjung bakal dimintai biaya dua ribu rupiah—di luar
harga tiket.
Oh
ya, sekadar informasi saja. Tebing yang ini sepertinya sudah bukan termasuk
area Pantai Klayar.
Pantai Klayar dari ketinggian. Mendung nih. |
Di atas ketinggian bukannya lihat pantai malah ngerumunin penjual akik. Hahaha. |
Kalau
capek jalan kaki, pengunjung juga bisa naik ATV dengan kisaran harga 50-75 ribu
rupiah. Mau beli es kelapa muda juga silakan, harganya cuma tujuh sampai
delapan ribu rupiah aja. Mau basah-basahan tapi nggak bawa baju ganti? Tenang
aja. Di kawasan Pantai Klayar ada bejibun kok kios-kios yang menjual kaos-kaos
santai.
Secara
umum, saya suka Pantai Klayar, dan nggak keberatan kalau kapan-kapan ke sana
lagi.
Cuma tujuh ribu-an. Jangan lupa balikin sendoknya. |
Untuk
obyek wisata selanjutnya, Gua Gong, nggak banyak yang bisa saya ceritakan. Yang
bisa saya infokan adalah, ketika turun dari kendaraan Anda, entah bus entah shuttle carteran, Anda akan disambut
oleh puluhan tukang ojek yang menawari mengangkut Anda ke pintu masuk Gua Gong
dengan tarif lima ribu rupiah.
Memang
sih, jalanan ke Gua Gong cukup menanjak, tapi saran saya adalah Anda nggak
perlu naik ojek. Kenapa? Karena ternyata deket banget.
Masuk
ke area Gua Gong, pengunjung akan melalui sebuah... eh... semacam pasar seni
yang menjual berbagai macam oleh-oleh khas Pacitan—mirip-mirip dengan pasar
seni di pintu keluar Makam Bung Karno di Blitar.
Setelah
melalui deretan kios-kios pasar seni tersebut, untuk sampai ke Gua Gong
pengunjung masih harus menaiki puluhan tangga. Di sini harus siap-siap minuman
ya. Hahaha.
Jilbab-jilbab putih... *nyanyi* Mau saya kenalin? Cewek ini ratunya baper. Haha. |
Sebelum
masuk gua, saya sarankan Anda punya senter atau alat penerangan lainnya. Di
dalam gua memang ada lampu-lampunya, tapi ya remang-remang gitu deh, jadi
mending Anda bawa alat penerangan tambahan.
Senter
di ponsel cukup sih sebetulnya, tapi kalau kurang yakin atau mau menghemat
baterai, Anda bisa menyewa senter yang banyak ditawarkan ibu-ibu yang ada di
depan pintu masuk gua. Bayarnya lima ribu rupiah.
Nah,
sekarang masalahnya, di dalam gua, saya bukannya menikmati stalagtit-stalagmit,
tapi saya justru takut. Duh, memang dasar nggak berjiwa petualang alam liar
kali ya. Hahaha. Di dalam gua, satu hal yang saya pikirkan adalah saya pengin
buru-buru keluar.
Selama
menyusuri gua, tangan kiri saya cuman mencengkeram besi pegangan yang memang
disediakan sementara tangan kanan saya pegang ponsel yang flashlight-nya saya nyalain nonstop. Dan satu lagi, lengan kaos
saya basah karena terus-terusan saya pakai untuk ngelap keringat—pengapnya
minta ampun!
Ya
iyalah, namanya juga di dalam gua. Hahaha.
Dan
enggak ada tuh ceritanya saya menikmati pemandangan stalagtit-stalagmit karena
mata saya cuma lihat ke bawah karena takut kesandung. Sebentar-sebentar saya
juga terkaget-kaget tiap tangan saya nggak sengaja menyentuh tonjolan-tonjolan
yang basah-basah gimanaaa gitu (apasih).
Udah saya bilang kan, di dalem gua saya nggak sempat mikir foto. Haha. |
Uh, sampahnya... Ampe tumpeh-tumpeeeh... :v |
Well, sejak hari itu saya yakin kalau wisata gua
hanya cocok untuk orang-orang tertentu. Dan... oh ya, itu memang kali pertama
saya sih masuk ke gua. Hehehe. Ada saran nggak supaya saya tertarik wisata gua
lagi?
Yang
jelas, saran dari saya cuma satu sih, yaitu kalau mau wisata gua jangan
sekali-kali ngajak orang yang punya masalah sama pernapasan. Waktu belum masuk
gua, saya dan teman-teman bahkan sempat lihat beberapa orang dari PMI membawa
orang pingsan di atas tandu. Entah dia pingsan karena sesak napas apa gimana,
yang jelas sewaktu di dalam gua, saya yang selama ini sehat-sehat aja jadi agak
tersengal-sengal napasnya.
Menurut
saya, mungkin perlu dipertimbangkan juga kalau mau wisata gua mengajak balita,
ibu hamil, atau orang-orang lansia. Mengurangi risiko jatuh, maksud saya.
Overall, kunjungan ke Pacitan waktu itu cukup amazing buat saya, dan nggak menutup
kemungkinan saya akan ke sana lagi suatu hari nanti. Jadi... barangkali ada
dari kalian yang mau merekomendasikan obyek-obyek wisata lainnya?
4 Comments
Wow, nice, ti...
ReplyDeleteBtw, fotoku bertebaran dimana-mana, ya...
Yahh, walaupun cuman keliatan kecil...
Wahaha, yoi biar eksis.
DeleteNice 😆
ReplyDeleteAh, wish you were with us, Di... :)
Delete