Judul:
Matryoshka
Penulis:
Ghyna Amanda
Penerbit:
Laksana
Tahun
terbit: 2017
Dimensi:
14 x 20 cm, 268 halaman
Sampul versi baru di iPusnas. Saya punya yang cover-nya versi lama, bergambar Kremlin. |
Blurb:
Tujuh
tahun berlalu setelah Yulya meninggalkanku dan pulang ke Rusia, tiba-tiba sebuah
surat sampai padaku. Ia mengundangku untuk datang ke negerinya pada tanggal
tujuh Agustus, tepat pada hari ulang tahun kami. Ia akan menunggu di bawah
patung The Brown Horseman membawa
sebuah balon berwarna merah.
Pada
hari yang ditentukan, hey, siapa yang kutemui di sana? Seorang bocah berusia
tujuh tahun? Siapa anak ini? Ia membawa banyak surat dari Yulya untukku dan aku
harus mendengarnya membaca surat setiap pagi. Yulya pikir, aku betah tinggal
lama-lama dengannya? Yulya, aku datang jauh-jauh untuk bertemu denganmu. Di
mana kau? Jangan biarkan aku dan anak kecil ini gila karenamu.
***
Menggunakan
sudut pandang orang pertama, Ghyna Amanda memperkenalkan tokoh utama, Virgo,
dengan cara yang tidak biasa. Hanya dengan membaca paragraf pembuka di bab
pertama, saya merasa seperti terisap ke sebuah dunia lain di mana saya duduk
minum teh sambil mendengarkan pria lajang berusia dua puluh tujuh bernama Virgo
ini curhat tentang kehidupannya yang jungkir-balik dalam sekejap mata setelah
menerima sepucuk surat dan bingkisan berisi boneka matryoshka dari St.
Petersburg, Rusia.
Ilustrasi boneka matryoshka. (Sumber: Wikipedia) |
Si
pengirim surat, Yulya Bolotova, adalah seorang perempuan asal Rusia yang pernah
menjalin romansa dengan Virgo tujuh tahun silam saat masih berkuliah di sebuah
universitas di Jakarta. Sayangnya, secara tiba-tiba, suatu hari Yulya pindah alamat
tanpa memberi kabar.
Yulya menghilang
tanpa jejak, membiarkan Virgo terkatung-katung dengan status “digantung”, lalu
tujuh tahun kemudian—saat ini—gadis itu mengirim surat berisi ajakan untuk
bertemu.
Berbekal
kalimat undangan yang kurang-lebih isinya “ayo kita ketemu tanggal sekian di bawah
patung The Brown Horseman, aku akan
menunggumu hanya pada hari itu”, Virgo rela menguras tabungannya untuk mengurus
visa dan membeli tiket pesawat agar bisa berangkat ke Rusia. Satu-satunya hal
yang ia harapkan adalah bertemu Yulya. Kelanjutan hubungannya dengan Yulya adalah
prioritas nomor dua. Kalaupun sudah tidak ada harapan, Virgo bertekad tidak
akan mempermasalahkan.
Agak
menyedihkan jika dipikir dengan logika orang waras, tapi siapa yang bisa
menyangkal? Jatuh cinta memang membuat orang jadi bodoh, ya ‘kan?
Singkat
kata, pada tanggal yang ditentukan oleh Yulya di surat, Virgo berada di tempat
yang dijanjikan. Sayangnya, alih-alih bertemu Yulya, ia justru bertemu anak
perempuan random berumur tujuh tahun.
Anehnya, dilihat dari sisi mana pun, anak perempuan itu seperti miniatur Yulya.
Tidak hanya ciri-ciri fisiknya yang sama, tapi anak tujuh tahun ini juga
berbicara dalam bahasa Indonesia dengan logat kaku seperti yang diingat Virgo
tentang Yulya.
Gadis
kecil ini bernama Yulenka, dan ia mengklaim diri sebagai “suruhan” Yulya yang
diberi tugas menjemput Virgo. Dalam tas yang ia bawa pun ada banyak surat dari
Yulya, masing-masing diberi tanggal untuk dibaca setiap pagi.
Mulai
dari sinilah muncul banyak hal yang menimbulkan kejanggalan. Segala sesuatu
tentang Yulenka terlihat aneh dan tidak wajar. Anak kecil itu sangat mandiri,
tapi di sisi lain pengetahuan umumnya amat minim. Ia tinggal di Rusia, tapi tidak
bisa berbahasa Rusia. Ia pun sama sekali tidak tahu konsep sekolah, guru, maupun
keluarga.
“Orang tua itu... ayah dan ibu?”
“Iya, benar sekali.”
“Lalu, ayah itu?”
“Ayah itu lelaki yang...” bagaimana menjelaskannya ya? “bersama-sama dengan ibu membesarkan anaknya.” Mungkin ini kedengaran lebih lazim di benak anak tujuh tahun. “Seorang anak bisa lahir kalau ada ayah dan ibunya.”
“Lalu, aku?” Yulenka menunjuk dirinya sendiri kemudian. “Apa aku terlahir dari bongkah kayu seperti Tereska?”
(percakapan Yulenka dan Virgo, halaman 158)
Tentang
Yulya, Yulenka tahu banyak, tapi di saat bersamaan juga seperti tidak tahu
apa-apa. Setiap ditanya tentang keberadaan Yulya, Yulenka tidak bisa memberi
jawaban jelas, membuat Virgo frustrasi. Kedatangan Virgo ke Rusia seolah
sia-sia.
Sampai
di sini, saya akhirnya mengerti mengapa di halaman paling depan, Ghyna Amanda
membuka kisah Matryoshka ini dengan
cuplikan lirik lagu Alexander Rybak yang berjudul Fairytale.
“I’m in love with a Fairytale even know it hurts, ‘cause I don’t care if I lose my mind. I’m already cursed.”
Cuplikan
lirik tersebut adalah gambaran sempurna tentang apa yang dirasakan Virgo. Ia
seperti tengah jatuh cinta pada gadis yang tidak nyata, gadis yang hanya hidup
di sebuah fairytale. Terasa nyata, tapi
dicari di mana-mana pun Yulya tidak ada.
Membaca
novel ini membuat saya tersadar, betapa dalam keadaan tertentu manusia bisa
bertindak amat tidak masuk akal. Bab demi bab, Ghyna Amanda berhasil membawa
saya larut semakin dalam dan hanyut menyelami pertentangan batin yang dialami
Virgo. Saya perempuan, tapi saya rasanya bisa memahami kemarahan Virgo terhadap
Yulya, saya bisa mengerti kekecewaan dan kebimbangannya dalam menentukan langkah
setelah semuanya terkuak.
Penokohan
Virgo begitu alami. Virgo bukan sosok prince
charming. Saya salut sekali dengan cara Ghyna menggambarkan Virgo sebagai “sosok
bocah dalam tubuh orang dewasa”, yang struggling
dengan gaji pas-pasan, punya bos yang banyak menuntut, dan berusaha
berdamai dengan nasib mengenaskannya sebagai seorang jomblo yang bertahun-tahun
gagal move on dari kisah asmara kadaluarsa.
Sangat
manusiawi.
Meski
begitu, Ghyna tidak melupakan aspek perkembangan karakter. Sebagai tokoh utama,
Virgo “si bocah dalam tubuh orang dewasa” ditempa oleh berbagai kejutan hidup,
membuat ia pada akhirnya mampu mengambil keputusan krusial.
“Mulai sekarang, jangan panggil aku Virgo, oke?” Tiba-tiba, aku membuat keputusan yang setelah ini akan semakin menjungkir-balikkan kehidupanku. Akan tetapi, ini adalah akhir. Finishing yang akan kulakukan sebaik mungkin.
(Virgo, halaman 252)
Dari
segi teka-teki, Ghyna menata semua kepingan puzzle
dengan harmonis. Sepanjang cerita, saya seperti dituntun menemukan satu
demi satu clue, lalu dibuat sibuk berspekulasi, lalu detik
berikutnya saya dibuat bertanya-tanya, “Hah,
masa iya?!” Saya sangat menikmati proses menebak-nebak eksistensi perempuan
bernama Yulya ini, di mana ia berada, dan apa hubungannya dengan Yulenka.
Plot
makin kompleks dengan kemunculan karakter-karakter pendukung yang menyumbang
petunjuk-petunjuk baru. Tanpa terasa, bersamaan dengan kemunculan tokoh-tokoh
tersebut, saya juga diajak jalan-jalan mengenal kota St. Petersburg, dan semuanya
tersusun apik sebagai bagian tak terpisahkan dari alur cerita.
Satu hal
lain yang juga layak diacungi jempol adalah kepiawaian Ghyna menyampaikan segala
sesuatunya dari sudut pandang laki-laki—jelas bukan suatu hal yang mudah. Apalagi
di bagian akhir, ada pula semacam epilog, disampaikan dari perspektif Yulenka
si anak tujuh tahun!
Satu-satunya
yang membuat saya kurang puas adalah: novel ini harus ada sekuelnya!
Akhir
kata, saya setuju dengan yang disampaikan Ghyna Amanda di bagian “Ucapan Terima
Kasih”: Matryoshka adalah sebuah kisah
tentang cinta dan keluarga. Biarpun kecil, namun sangat berarti.
Selamat
membaca.
p.s.
Selain
versi fisik, novel Matryoshka ini juga
bisa kamu pinjam dan baca di aplikasi iPusnas Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Tampilan bagian awalnya sebagai berikut:
0 Comments