Contoh Cerpen Anak-Anak, "Santi dan School Farming"

Ini adalah cerpen anak yang saya buat bertahun-tahun lalu

untuk memenuhi tugas membuat cerpen

saat saya ikut UKM kepenulisan di kampus.

Enjoy.

***

Santi dan School Farming

oleh: Asti Putri Alfasani

Bangun tidur ketika matahari masih malu-malu mengintip di balik gunung di sebelah timur, Santi melihat kakak perempuannya, Kak Dinda, sedang berdiri di halaman depan, mengamati tanaman-tanaman. Di tangan kanan Kak Dinda ada sebuah cetok berlumur tanah dan di dekat kakinya ada kantong plastik berisi entah apa.

“Sedang apa, Kak?” tanya Santi setelah menyapa. Ia menguap lagi, tampak masih mengantuk.

Kak Dinda berbalik. Ia tersenyum sambil mengacungkan cetok yang dipegangnya.

Santi mengangguk lalu ikut turun ke halaman.

“Kakak lagi menanam cabai, Dik,” jawab Kak Dinda begitu Santi sampai di dekatnya. “Mau bantuin?”

Sambil tersenyum, Santi menggeleng–geleng kecil. “Jijik, Kak,” ia berujar pelan. Santi tidak suka segala sesuatu yang mengharuskannya belepotan tanah. Belum lagi kalau ada cacingnya. Hiii

Santi menggeleng lagi. Sejenak ia melongok kantong plastik yang isinya ternyata pupuk. Berikutnya, Santi hanya memperhatikan Kak Dinda meneruskan kegiatannya menanam tanaman cabai.

Sejak kembali dari luar negeri beberapa bulan yang lalu, Santi sering melihat Kak Dinda rajin merawat berbagai macam tanaman sayur-sayuran yang ditanamnya di pot-pot keramik. Beberapa dari pot-pot tanaman itu diletakkan Kak Dinda di teras depan rumah. Beberapa lainnya, yang berukuran agak besar seukuran tempat sampah di sekolah Sinta, diletakkan di teras samping. Di halaman belakang pun Kak Dinda menanam tanaman buah-buahan yang sekarang batangnya sudah setinggi hidung Santi.

Beberapa bulan yang lalu, Santi masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak ketika ia bersama Papa dan Mama pergi ke Jakarta untuk mengantar Kak Dinda yang akan berangkat ke Kanada. Kata Papa, waktu itu Kak Dinda terpilih mewakili Indonesia untuk menghadiri sebuah konferensi.

Waktu itu Santi sendiri tidak tahu apa itu konferensi. Ia sudah bertanya pada Papa, tapi ia tetap tidak mengerti konferensi yang dihadiri Kak Dinda itu acara seperti apa. Yang jelas, sejak Kak Dinda ikut konferensi itu, para tetangga sering memuji-muji keluarga Santi.

Dan meski tidak tahu apa itu konferensi, tapi Santi tahu Kanada letaknya sangat jauh dari rumahnya di Surabaya. Saat ke Jakarta dulu, mereka naik kereta dari sore hari sampai pagi dan itu sudah sangat melelahkan. Padahal Kak Dinda masih harus naik pesawat entah berapa lama. Waktu itu, Papa berkata Kanada ada di Amerika. Santi tahu Amerika sangat jauh meskipun ia sendiri belum pernah ke sana.

“Dik Santi kenapa kok diam aja?” suara Kak Dinda memecah lamunannya tiba-tiba.

“Eh, nggak kenapa-napa, Kak. Santi lagi ingat waktu Kak Dinda ikut konferensi di luar negeri dulu,” ujar Santi. “Ngomong-ngomong, konferensi itu apa sih, Kak?”

Kak Dinda memejamkan matanya sejenak, seperti sedang berpikir. “Konferensi itu... rapat. Santi tahu rapat, kan? Seperti rapat yang biasanya diadakan di rumah Pak RT itu lho...”

Santi mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekarang ia tahu apa itu konferensi. Ia sering melihat Papa berkumpul di rumah Pak RT bersama bapak-bapak yang lain. “Terus, kenapa untuk rapat aja Kak Dinda harus jauh-jauh ke luar negeri?”

Kak Dinda berhenti sebentar sambil mengetuk-ngetukkan cetoknya ke tanah. “Rapat yang Kakak ikuti itu diikuti juga oleh orang-orang dari negara-negara lain. Santi tahu Jepang? Nah, di konferensi yang Kakak ikuti itu ada orang Jepang, orang Inggris, orang Amerika, orang... Arab... Ada juga orang Rusia, orang-orang yang bicaranya pakai bahasa seperti Masha itu...”

Melihat mimik wajah Santi yang tampak serius menyimak sambil sesekali menganggukkan kepala, Kak Dinda melanjutkan bicaranya. “Nah, kebetulan waktu itu konferensinya diadakan di Kanada.”

“Sebentar, Kak,” Santi memotong cepat. “Memangnya Kak Dinda bisa ngomong pakai bahasa Rusia?”

Santi melongo ketika Kak Dinda tiba-tiba tertawa. “Kakak nggak bisa bahasa Rusia kok. Di rapat-rapat yang begitu, mana bisa ngomong pakai bahasa Indonesia? Kalau Kakak bicara pakai bahasa Indonesia, teman Kakak yang dari Jepang mana ngerti? Yang dari Rusia juga nggak bakal ngerti omongan Kakak, kan?” jelas Kak Dinda lagi. “Di sana, Kakak sama teman-teman Kakak ngomong pakai bahasa Inggris semua.”

“Wah, berarti harus rajin belajar bahasa Inggris, ya, Kak?”

Kak Dinda mengangguk.

“Wah, nanti kalau aku udah besar, aku mau ikut konferensi yang begitu juga. Bisa punya banyak teman dari mana-mana... Bisa jalan-jalan juga ke luar negeri... Eh, apa yang diomongin di konferensi-konferensi begitu, Kak?”

Sambil menggali lubang dengan cetoknya, Kak Dinda menjawab dengan sabar. “Konferensi itu macem-macem, Dik. Kalau konferensi yang Kakak ikuti dulu itu ngomongin tentang family farming. Coba, apa artinya family?”

“Keluarga.”

“Uh, pinter... Kalau artinya farming?”

Farming? Nggak tahu, Kak,” Santi menjawab jujur.

Farming itu artinya... eh... pertanian. Jadi family farming itu maksudnya pertanian yang di... diurus keluarga.” Kak Dinda diam lagi sebentar. “Iya, begitu.”

Giliran Santi yang diam. Mungkin belum terlalu paham.

“Kenapa harus ada family farming, Kak?”

Kak Dinda menarik napas panjang lalu tersenyum. Santi memang anak yang cerdas dan pintar. Rasa ingin tahunya juga tinggi sekali. Mungkin itu sebabnya Santi punya pengetahuan yang lebih luas jika dibandingkan dengan teman-temannya yang lain, pikir Kak Dinda.

“Mmm... begini. Santi tahu nggak berapa banyaknya orang yang hidup di seluruh dunia ini?” Kak Dinda berlutut, menyamai tinggi Santi.

Dengan kening sedikit mengerut, Santi menjawab, “Berapa ya, Kak? Mungkin... sepuluh... juta?”

“Wah, jumlah orang Jakarta aja udah tujuh juta lho. Berarti Santi bisa bayangkan dong, ada berapa jumlah semua orang di dunia?”

Santi terbelalak kagum. “Banyak buuaaangeeet dong, Kak?”

“Iya. Dan mereka semua punya rumah, ya kan? Terus... nanti kalau mereka punya anak, punya cucu, anak-cucunya itu juga pasti bikin rumah. Iya kan? Coba ingat-ingat Bu Rosi yang rumahnya di ujung jalan itu. Anaknya, Kak Tito yang kemarin baru menikah itu, bikin rumah juga, kan? Padahal Bu Rosi tinggal sendirian. Seharusnya Kak Tito kan bisa tinggal di rumahnya Bu Rosi aja?” Kak Dinda mengamati ekspresi Santi.

“Nah, Santi tahu kan sekarang Kak Tito bikin rumah di bekas kebun mereka di RT sebelah?”

Santi mengangguk.

“Mereka sekarang nggak punya kebun lagi karena dipakai untuk bikin rumah. Padahal dulu di kebun itu ada banyak pohon buah-buahan. Apa nggak sayang, coba?” Kak Dinda mengangkat alisnya, mengamati Santi yang makin heboh mengangguk-angguk. “Itu baru Kak Tito aja. Bayangin kalau semua orang di dunia ini terus-terusan bikin rumah...”

“Semua kebun sama sawah sama hutan bisa habis dong, Kak?” tukas Santi cepat. Ia tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau di dunia ini tidak ada sawah dan kebun. “Makan apa kita nanti?” tanyanya panik.

“Makanya... selain ngasih tahu orang-orang supaya mereka nggak terus bikin rumah, kita juga harus melakukan family farming, jadi kita bisa membantu memenuhi kebutuhan makanan. Coba pikir, Mama udah lama nggak beli cabai, ya kan? Mama juga bisa masak bayam, terung, singkong, sama buah-buah lain yang Kakak tanam ini, ya kan?”

Santi tercenung. Tepat saat itu, Mama muncul di pintu memanggil mereka berdua  sambil membawakan dua gelas susu.

Kak Dinda mengajak Santi duduk di kursi teras samping untuk menikmati susu hangat yang uapnya masih mengepul itu.

“Ngobrol tentang apa sih? Kok serius sekali,” komentar Mama sambil membetulkan kucir rambutnya.

“Ngomongin family farming, Ma,” Santi menyahut ketika Kak Dinda baru akan membuka mulut. “Mulai hari ini, Santi akan bantuin Kak Dinda ngurus tanaman.”

Kak Dinda dan Mama saling berpandangan. Di wajah mereka terulas senyum.

***

Keesokan harinya, Mama terkejut ketika melihat Santi sudah bersiap-siap berangkat ke sekolah, padahal jam masih menunjuk pukul enam kurang sepuluh menit.

“Ma, sarapannya sudah siap?” tanya Santi sambil duduk di kursi ruang makan.

“Kok tumben jam segini sudah mau berangkat?” ujar Mama heran.

Tersenyum lebar, Santi mengangkat kedua tangannya yang ternyata menenteng kantong plastik berisi pohon-pohon kecil siap tanam. “Nggak apa-apa kan, kalau Santi minta beberapa tanaman ini untuk ditanam di sekolah? Santi mau ngajak teman-teman untuk melakukan family farming... eh, school farming, Ma!”

Post a Comment

0 Comments