Konon katanya, sudah tertulis bahwa ujung-ujung napas bangsa kami akan habis dengan cara yang tragis. Dengan cara yang membuat hati miris. Tapi itu bukan karena kami memanjat dinding lantas jatuh deras seperti gerimis. Sama sekali bukan. Bukan pula karena kami kurang makan lantas lemas dan meluncur bebas hingga terlumur darah sampai klimis. Sama sekali bukan.
Hanya satu masalahnya. Kami selalu dituduh sebagai biang malapetaka!
Pagi ini si pria paruh baya pemilik ruangan kembali menyandang kantong lusuhnya, melangkah terburu-buru menuju pintu. Aku terpaku, sambil tegang menanti akankah napas terakhirku direnggut olehnya kali ini.
Satu… dua… tiga… empat… ia makin mendekat. Kucengkeramkan jemari mungilku erat-erat.
Kini si pria paruh baya telah sampai di muka daun pintu. Diulurkannya tangan kanan hendak membuka, namun mendongaklah kepalanya. Ia sudah tahu aku ada di sana. Seperti biasa. Dipandangnya sekujur tubuhku dengan tatapan murka, lalu ia memukulkan telapak tangannya.
Aku menyingkir dan si pria paruh baya berlalu. Ia akan pulang, nanti, ketika petang sudah menjelang.
***
Di tanah memanjang yang kata orang namanya Pulau Jawa ini, bangsa kami mengisi perut sambil menghitung putaran masa karena bangsa manusia begitu percaya pada pertanda. Dan kalau kau tahu, di tembok-tembok yang tegak itu kami bukan hanya merangkak. Setiap saat, kami melalui hari sambil menaksir kapan kiranya detak jantung kami akan berakhir.
Aku pribadi tidak mengerti kenapa manusia menganggap bangsa kami sebagai pembawa berita buruk dari Sang Ilahi. Tiap kami mendekati manusia, apalagi saat kami berada tepat di atasnya, mereka akan pergi ke arah yang berbeda, seolah kami hendak menyampaikan tanda bahaya. Belum lagi kalau ada yang tidak sengaja jatuh menjatuhi pundak atau kepala, pada detik itu pula kami akan dikejar, lalu ditangkap, lalu tamatlah riwayat saat mulut kami dirobeknya. Ya, lakon hidup kami memang begitu-begitu saja.
Ibu-bapak juga kakakku sudah lebih dulu mengalami peristiwa naas itu, sehingga sekarang ruangan ini hanya ditempati sendirian olehku. Kurasa aku pun sebenarnya hanya menunggu suatu waktu di mana aku tergelincir jatuh tepat ke kepala si pria paruh baya lalu terulanglah peristiwa naas itu dengan urutan yang sama.
Suara daun pintu yang dibuka mengalihkanku dari angan-angan. Aku terkejut dan mendapati tubuhku tiba-tiba gemetaran saat si pria paruh baya sudah pulang lalu masuk ruangan. Kulihat di dekat telinga kanan ia menempelkan sebuah benda kotak sambil berbicara dengan suara lantang.
Tiba-tiba seekor nyamuk melintas dan aku mulai bingung mementukan keputusan, antara memperhatikan si pria paruh baya atau mencari makan. Saat itulah aku tergelincir. Mendadak kurasakan tubuhku meluncur cepat dan si pria paruh baya mengumpat…
“SIALAN! Gue kejatuhan cicak!”
Sayup-sayup suara lain sempat kudengar menguar dari benda kotak berwarna hitam yang ia genggam di dekat telinga, “Tangkap, Jo! Tangkap! Pertanda sial tuh! Tangkap, terus robek mulutnya biar nggak jadi kena sial!”
Cepat-cepat si pria paruh baya menggenggam tubuhku yang masih tak berdaya di pundaknya, tapi kali ini ia menatapku dengan pandangan jauh lebih murka dari biasa. Aku pun menahan napas sambil memejamkan mata, berusaha menekan rasa takut menjelang maut.
“Cicak sialan!” si pria paruh baya mengumpat lagi seraya menggenggamku lebih kuat. Aku pun hanya pasrah, dan sedetik kemudian ketika kurasakan sebuah patahan menyakitkan di rahang, aku tahu nyawaku sudah melayang.
Ya… setidaknya sekarang, aku sudah tahu pasti bahwa lakon hidupku memang hanya sampai di sini. Tapi masalahnya aku belum tahu akan sampai kapan manusia-manusia ini percaya setengah mati pada pertanda. Ah, dasar, orang Indonesia…
0 Comments