[Cerpen] - ABIGAIL

 ABIGAIL

(sumber gambar: di sini)


 

Kuputuskan tetap duduk di mobil sementara Adrian turun lalu beranjak menuju jalan setapak yang mengarah ke gerbang pemakaman. Gerimis merapat dan perlahan kulihat tetes-tetes air hujan mulai menodai kemeja putihnya dengan bercak-bercak basah, tapi tidak ada tanda-tanda ia akan membuka payung yang digenggamnya.

Payung itu...

Payung merah itu.

Rasa penasaran akhirnya memaksaku keluar mengikuti Adrian beberapa langkah di belakangnya. Sampai di depan sebuah gundukan tanah yang tampak masih merah, ia berhenti. Jemarinya bergerak membuka payung.

Aku ikut berhenti dan tertegun.

Hati-hati ia bersimpuh tepat di depan makam yang masih basah itu.

“Ini...” desisnya pelan sambil meletakkan payung yang terbuka itu tepat di atas kepala nisan. “Ini punya kamu.”

 

***

 

Dua minggu sebelumnya…

 

“Jujur saja, Abigail, saya masih nggak ngerti apa yang kamu cari dengan tinggal di tempat ini,” tandasnya pedas. “Seorang fresh graduate universitas ternama yang malah menghabiskan masa mudanya untuk mengajar di sebuah desa terbelakang di kepulauan terpencil, yang bahkan bukan kampung halamannya... what a joke.”

“Jujur, saya juga nggak ngerti kenapa Mas masih nggak ngerti,” sergahku cepat. “Seorang pemegang gelar master dari luar negeri yang sudah merasa puas hanya dengan menghabiskan masa mudanya di perusahaan multinasional di ibukota tanpa sedikit pun berpikir untuk membangun kampung halamannya sendiri?” sengaja kutandaskan tiga kata terakhir karena desa ini memang kampung halamannya. Setidaknya, menurut ceritanya barusan, kakek dan neneknya adalah penduduk asli desa ini. “What a joke,” lanjutku.

Oh, ya. Namanya Adrian. Boleh juga dipanggil Ian, katanya. Kami baru berkenalan. Hujan membawanya berteduh di pos ronda ini.

Yah, terserah kamu bilang apa,” ujarnya setelah tertawa. “Tapi saya bukan orang sok idealis yang mau-maunya mengerjakan PR-PR pemerintah tanpa digaji apa-apa—membangun desa ini, misalnya,” ucapnya lagi. “Dan kamu tahu sendiri, nggak banyak yang bisa kamu lakukan di sini. Jangankan main Line atau BBM-an, kirim SMS aja nggak pernah lancar.” Pemuda ini mengangkat tangannya, menunjukkan ponsel keluaran terbaru dengan tanda silang merah di bagian kolom sinyal.Tapi ada bagusnya juga sih buat saya. Ini baru yang namanya cuti. Di sini rasanya saya benar-benar liburan tanpa gangguan kerjaan.”

 

...

 

Ini kali pertama kuterima tawarannya untuk mengantarku mengambil buku-buku bekas yang berhasil kukumpulkan lewat aksi amal di media sosial beberapa waktu yang lalu. Setelah perdebatan menyebalkan tempo hari, esoknya kami bertemu lagi, tepatnya saat aku berangkat mengajar dan ia sedang jalan-jalan menikmati suasana pagi—sekaligus menikmati pandangan mupeng yang dilayangkan kepadanya oleh beberapa gadis muda.

 “Melamun lagi, Abigail?” suara Adrian mengejutkanku tiba-tiba. Kulihat ia melirikku, menggenggam roda kemudi sambil mengulum senyum hingga ujung bibirnya tertarik sebelah.

“Itu payung kamu, kan? Tempo hari ketinggalan di pos.” Ia menunjuk payung lipat merah yang ada di atas dasbor, lalu berkata, “Eh, tunggu. Payung itu ketinggalan... atau sengaja kamu tinggalin?”

Mukaku panas. Di pos ronda itu ia berhasil membuatku kesal dengan argument-argumen tidak masuk akal hingga aku lupa payungku tertinggal.

“Hei, saya terlalu ganteng, ya, sampai kamu nggak bisa berkata-kata?” ia menambahkan sambil menyipitkan mata. Sebuah truk dari arah berlawanan melaju kencang dan sorot lampunya terlalu terang, menerangi wajahnya selama beberapa saat.

Sialan.

Dalam hati aku mengutuk diriku sendiri yang dengan pasrahnya mengakui bahwa ucapan Adrian yang terakhir itu benar. Kerah kemeja biru muda yang menyembul dari balik sweter abu-abu yang dikenakannya hari ini pun tampak sangat pas melekat di badannya. Darahku berdesir.

“Ah, nggak,” sedapat mungkin aku mencoba menguasai diri. “Saya cuma nggak habis pikir, kok bisa-bisanya saya terima tantangan Mas Adrian...”

“Ian aja cukup.”

“O..ke.” Aku menghela napas. “Saya cuma nggak habis pikir, kok bisa-bisanya saya terima tantangan Mas... Ian... tempo hari itu,” tuturku. Dari kaca spion tengah, kulirik empat kardus besar berisi buku untuk perpustakaan desa yang baru kami ambil dari kantor pos—tertumpuk manis di jok belakang.

Well,” ia tergelak sambil membetulkan posisi kacamatanya yang melorot lalu melanjutkan dengan nada santai, “...sejak pulang dari Jerman lalu bekerja selama dua tahun ini, saya belum menemukan kesenangan yang seunik ini...” Ia melirikku, “...menantang seorang guru muda di desa terpencil untuk mengurangi—atau mengubah, kalau bisa—sikap egois seorang pemuda cemerlang yang nggak peduli dengan pembangunan bangsanya sendiri.” Ia mengusap rambut dengan satu tangan sambil berujar, “Ngomong-ngomong, saya masih pantas disebut pemuda, kan? Baru juga umur dua tujuh.”

Sekarang ganti aku yang tergelak. Pemuda cemerlang yang nggak peduli dengan pembangunan bangsanya sendiri. Itu istilah yang kusematkan untuknya. Tanpa kata cemerlang, sebenarnya.

Sisa perjalanan petang itu kulalui dalam diam, hanya sesekali menanggapi komentar-komentar Adrian tentang dua minggunya yang ia habiskan untuk membantukumengajar para lansia yang mengikuti program belajar membaca, mengajari anak-anak mengoperasikan komputer dan menemaniku mengurus buku-buku di perpustakaan desa. Pernah juga…

“Nah, sudah sampai di tempat tinggal kamu.”

Lagi-lagi lamunanku terputus dan kusadari Adrian sudah mengangkat kardus pertama dari jok belakang. Lalu, Besok pagi saya balik ke Jakarta,” ujarnya datar sambil membawa kardus itu ke teras rumah. “Ada yang mau kamu sampaikan ke saya?”

Jantungku berdegup lebih cepat. “Seperti… apa?”

“Seperti…” ucapannya mengambang bersamaan dengan tangannya yang meletakkan kardus ke lantai teras. “Seperti… ucapan terima kasih, misalnya? Saya bantu kamu bukan karena saya mengakui kamu sudah berhasil menyelesaikan tantangan saya, lho. Ini cuma upaya saya untuk mendalami apa yang kamu lakukan. Siapa tahu suatu saat nanti saya bisa ngerti kebahagiaan macam apa yang kamu dapatkan dengan mengerjakan PR-PR pemerintah seperti ini.”

“Oh.” Aku tergeragap sejenak. “Tentu. Terima kasih banyak,” ujarku seraya mengangkut kardus kedua. Kupandang air mukanya sebentar. Tetap datar.

Malam mulai merangkak turun. Sekali lagi kulihat pemuda itu menyapu rambutnya dengan satu tangan. “Itu aja yang mau kamu sampaikan?” tegasnya sambil menatapku dalam-dalam. “Kamu yakin nggak ada yang lain?”

 

***

 

Perlahan kudekati Adrian yang tampak masih betah berlama-lama bersimpuh di depan makam. Derasnya hujan telah membasahi pakaian putihnya, memunculkan pola kaus yang ia kenakan di balik kemeja.

Aku berjongkok di sebelahnya dan baru kusadari bibir serta wajahnya memucat. Ikal-ikal rambutnya menggumpal-gumpal, seolah menjadi jalan bagi air hujan yang tanpa ampun mengguyur kepalanya. Dengan gemetar, untuk kali pertama aku mencoba meraih ujung-ujung jemarinya yang mengerut kedinginan. Sia-sia.

“Kamu tahu, ketika pesawat saya baru mendarat di Soetta...” gumamnya pelan sambil mengelus permukaan nisan. Ia melepas kacamata, lalu menyeka sesuatu di wajah dengan lengan kemeja—entah air hujan atau air mata, yang jelas wajahnya basah dan hidungnya memerah.

“Saya baru keluar dari pesawat... dan... kamu tahu, orang pertama yang saya rindukan adalah kamu.”

Aku terhenyak.

“Kedengarannya mungkin gila, tapi satu-satunya yang ingin saya lakukan adalah menelepon kamu lalu mendengar suaramu... meskipun itu akan butuh banyak waktu karena kamu harus mencari tempat yang sinyalnya bagus...” ia terbatuk kecil, “...atau setidaknya cukup untuk mengirimkan suara kamu ke telinga saya. Putus-putus pun tak apa.

Mendengar itu, aku beringsut, ikut menjatuhkan lutut tepat di sampingnya. Sekali lagi kuulurkan tanganku untuk meraih jemarinya. Tapi, tetap saja. Sia-sia.

“Saya naik taksi ke apartemen sambil nelepon kamu, sambil siap-siap ngomel kalau-kalau sinyal di tempat kamu bikin saya harus bersabar lebih lama,” ia bicara sambil menaburkan bunga. Kepalanya tertunduk semakin dalam. “Tapi semuanya malah terjadi di luar yang saya duga. Saya cuma meneleponmu satu kali, dan alih-alih disapa suara perempuan yang bilang bahwa ponsel kamu di luar jangkauan, telepon dari saya malah diangkat oleh Pak Kades. Beliau bilang sedang di kota, menunggu kamu yang sedang diurus petugas

Tangannya terangkat menutupi wajah.

“…d-diurus petugas… di ruang jenazah.”

Hujan turun dengan intensitas semakin rapat, dan bisa kulihat ia gemetar kedinginan. Aku bimbang. Haruskah kupeluk ia?

“Kenapa kemarin kamu nggak bilang kalau masih ada satu kiriman lain di tempat temanmu di kota sebelah? Demi Tuhan, kenapa kamu malah mengambilnya sendiri—DAN malah jadi korban pemotor yang ugal-ugalan?!” Di tengah riuh hujan, kalimat-kalimat Adrian terdengar seperti racauan. “Kamu tahu, saya nggak keberatan mengantarmu ke mana saja asalkan kamu bisa terus tersenyum di depan saya...” Ia terbatuk lagi sambil menatap lekat kepala nisan. “...terus tersenyum untuk saya di dunia, bukan tersenyum dari atas sana.”

“Kamu menang, Abigail.” lanjutnya dengan suara tersendat. “Kamu memenangkan dua hal—tantangan dan sekaligus hati saya,” ia berbisik lirih. Perlahan ia berdiri lalu memakai kacamatanya kembali. “Seandainya kamu tahu, Abigail... Belum setengah jalan ke apartemen, tapi saya langsung minta sopir taksi untuk putar balik ke bandara.”

Sudah cukup. Aku tidak tahan lagi.

“Saya di sini!” teriakku lantang sembari menghambur ke pelukannya. “Ian, saya di sini...” aku memekik berulang-ulang. Untuk kali pertama, kulingkarkan kedua lenganku di lehernya, meski—sekali lagi—aku tahu ini sia-sia karena ia tidak akan merasakan apa-apa. Untuk kali pertama pula, kusesapi harum yang menguar dari badannya tanpa khawatir apakah aku akan mempermalukan diriku sendiri atau tidak.

“Saya pulang dulu, Abigail. Setelah ini, saya janji akan melanjutkan perjuangan kamu, dengan cara saya. Itu akan bikin kamu bahagia, kan?”

Aku mengangguk, melepaskan lenganku yang melingkar di lehernya lalu berdiri tepat di sebelahnya.

Ia berjongkok lagi, mengabaikanku yang berdiri linglung di sampingnya seperti orang bodoh. “Saya pulang ya,” pamitnya. Dielusnya dengan lembut bagian kepala nisan tempat namaku ditulis, “...Abigail.”

Ah, hatiku sakit. Ia memang tidak bisa melihatku lagi.

 

Malang, 13 Maret 2016

Post a Comment

0 Comments