Judul:
Pacar 7 Jam
Penulis:
Devy Yuliastri Kurnia Putri
Penerbit:
Zettu
Tahun
terbit: 2014
Dimensi:
13 cm x 19 cm, 220 halaman
Pacar 7 Jam (atau Pacar Tujuh Jam?) |
Blurb:
“Aku
akan menjaga cinta dari tempat yang berbeda,” ucap Ferdi dengan serius.
“Menjaga
cinta dari tempat yang berbeda? Kaupikir kau bisa? Kau menyatakan cinta tujuh
jam yang lalu dan sekarang kau memutuskan hubungan kita? Padahal cincin yang
kaulukiskan di jariku ini masih berbau cat dan belum kering sempurna. Oh,
Tuhan, ini tidak mungkin terjadi...” kataku dengan hujan air mata yang makin
deras.
Aku
masih belum yakin apakah ini memang cinta, dalam hatiku masih begitu banyak
tersimpan keraguan. Tapi, aku tak kuasa untuk menolak cinta darimu. Aku takut
akan ada orang lain yang bisa memilikimu, tersenyum bangga karena berhasil
mendapatkanmu. Aku tak pernah rela melihatmu menjadi milik orang lain, tapi aku
masih bingung benarkah ini cinta yang kurasakan?”
***
Novel
ini diawali dengan serba-serbi tentang hari pertama kuliah—tipikal novel
remaja. Seorang gadis muda bernama Rena terlambat datang pada kegiatan
pengenalan kehidupan perguruan tinggi alias ospek, dan karena itu dia akhirnya
mendapatkan sebuah hukuman bersama dengan seorang pemuda yang sama terlambatnya.
Pemuda
ini bernama Ferdi. Dia punya kepribadian yang membuat Rena rasanya hampir tidak
mampu mengendalikan diri untuk tidak melipat-lipat-pemuda-itu-lalu-merobeknya-kecil-kecil-untuk-dilarung-di-laut-selatan.
Itu
istilah yang saya buat sendiri, ngomong-ngomong. Yang jelas, di mata Rena, Ferdi
adalah orang yang sangat menyebalkan. Dia melahap habis bekal makanan yang
dibuat Rena... dia menggoda Rena tentang parfum... dia membuat Rena kesal di
setiap kesempatan.
Rena
diceritakan sebagi seorang gadis yang hobi memasak tapi “diceburkan” ke jurusan
Seni Rupa oleh orang tuanya. Sekali lagi, seni rupa. Kinda unusual, so I like it. Ayah Rena merupakan seorang pelukis
handal, jadi dia berharap Rena akan mengikuti jejaknya di masa depan.
Sayangnya, sejak ditinggal ayah-ibunya ke luar negeri untuk berbisnis dan Rena
dititipkan pada neneknya, dia jadi kehilangan minat pada seni membuat lukisan
dan lebih menyukai seni membuat makanan!
Hm, menulis ini bikin saya jadi lapar.
Singkat
kata, Rena sudah menjadi mahasiswa dan kehidupannya berlangsung sangat normal
dengan kegiatan kuliah dan teman-teman baru yang menyenangkan, salah satunya
bernama Diva. Mereka bersahabat baik, meski pada akhirnya persahabatan itu
harus bubar karena sesuatu hal.
Di
luar friksi-friksi kecil yang muncul akibat keberadaan Ferdi, kehidupan Rena
berlangsung dengan sangat normal sampai suatu ketika, seorang dosen muda
bernama Hendrawan datang ke rumah Rena.
Mohon
maaf, dilarang suudzon.
Pak
Hendrawan ini ternyata merupakan putra dari teman ayah Rena sekaligus teman
masa kecil Rena. Hanya saja, Rena tidak begitu mengenalinya karena keluarga Hendrawan
sudah lama pindah rumah dan mereka nyaris tidak pernah berkomunikasi lagi.
Berawal
dari sini, hubungan Rena dan Hendrawan akhirnya menjadi lebih dekat. Rena juga
beberapa kali berkunjung ke rumah keluarga Hendrawan karena ibu Hendrawan
merupakan tipe ibu impian Rena. Dengan kedekatan yang seperti itu, Rena menjadi
bimbang tentang perasaannya sendiri: apakah hubungannya dengan Hendrawan
sekadar hubungan kakak-adik, ataukah ada yang lebih?
Sekilas
info dari saya: Hendrawan sebetulnya juga menyukai Rena.
Di
tengah kekacauan itu, muncullah seorang wanita bernama Haliz yang konon katanya
merupakan mantan pacar Hendrawan. Rena pun patah hati. Dia berusaha move on dengan memanfaatkan surat-surat
(cinta) rahasia yang entah dari mana asalnya tiba-tiba rutin diterimanya. Dalam
surat-surat itu, selalu tertulis puisi dan tersimpan teka-teki untuk
mendapatkan surat berikutnya, dan berikutnya lagi, dan begitu seterusnya sampai
berhasil menemukan si pengirim surat.
Pada
akhirnya, terungkaplah identitas orang misterius itu: Ferdi. Pemuda itu menaruh
hati pada Rena, dan setelah Rena mengenalnya lebih jauh, ternyata Ferdi tidak
se-slengekan yang dia kira. Ferdi
menyatakan cintanya, lalu menghabiskan waktu bersama Rena, dan tujuh jam
kemudian pemuda itu memutuskan hubungan karena akan pergi kuliah di luar negeri.
Tapi Ferdi juga berjanji akan menjaga cinta itu di mana pun dia berada.
Jahat,
memang.
Jadi,
intinya, Ferdi semacam ingin menikmati kebersamaannya dengan Rena meskipun cuma
sementara.
***
So,
this is my two-cents. Saya mulai dari minusnya dulu.
Tentang
Ejaan
Hal
utama yang sangat mengganggu saya adalah fakta bahwa editornya seperti makan gaji buta!
Dalam empat halaman pertama di Bab 1, terhitung sudah ada lima buah kesalahan
ketik! Kesalahan ketik itu tidak termasuk hal-hal yang sudah saya toleransi semacam
kata “ayahku” yang diawali dengan huruf kapital (seperti ini: Ayahku) padahal kata
itu terletak di tengah kalimat.
Ya,
sebenarnya tidak bisa ditoleransi juga, sih.
Beberapa
kali, rasa tidak nyaman juga menyapa saya mulai bab kedua dan seterusnya, yang
memuat banyak dialog. Pasalnya, percakapan yang terjadi antartokoh (hampir) selalu
tumpang-tindih tanpa batas yang jelas. Contohnya, bisa ada empat kalimat yang
diucapkan tokoh yang berbeda, tapi ditulis dalam satu paragraf. Pada beberapa
bagian, saya bahkan mengulangi membaca untuk memastikan bahwa si tokoh tidak
sedang bicara sendiri.
Belum
lagi absennya tanda baca “koma” sebelum sapaan. Ada banyak sekali yang begini.
“Ibu
sedang pergi Pak.”
“Pergi
Pak” itu apa ya? Apakah semacam pergi arisan? Atau pergi kondangan?
“Aku
takut Tan.”
Maksudnya,
takut “tangen”? Nggak sekalian takut “sinus” dan “cosinus”?
Saya
tidak tahu apakah saya saja yang bereaksi over terhadap detail semacam ini,
tapi saya rasa tidak juga. Ini hal yang esensial untuk memastikan makna suatu
kalimat tidak melenceng dari yang seharusnya.
Catatan:
Kritik di atas ditujukan kepada penyunting naskah, bukan penulis.
Tentang
Alur Cerita
Nah,
seperti yang sudah saya ceritakan di atas, si prince charming, dosen ganteng
Hendrawan ternyata adalah teman masa kecil Rena. Mulai dari bagian
terkuaknya fakta ini, Rena langsung mengganti panggilannya dengan “Mas Hen”.
Hm,
affectionate sekali.
Saat
Hendrawan datang ke rumah Rena untuk kali pertama, dia bahkan menyempatkan diri
untuk mengacak-acak rambut Rena sambil berkata, “Dasar kamu ini, Ren. Dari dulu sama saja. Kamu itu gokil.”
Sekali
lagi, mengacak-acak rambut!
Astagadragon,
Mas Hen... Nyebut, Mas. Kamu dosen, dia mahasiswa. Kalau ada orang yang mata-matain
kalian berdua, saya jamin besok pagi kamu sudah masuk koran lampu hijau dengan headline
sepanjang terowongan kereta tentang affair
antara dosen dengan mahasiswinya.
Saya
bisa maklum kalau Rena yang bertindak seperti itu. Dia gadis belia yang mungkin
belum mengerti unggah-ungguh. Tapi,
Hendrawan? Kelihatan sekali dia tidak bisa mengendalikan kelakuannya. Maksud
saya, dia seorang dosen, dan Rena adalah salah satu mahasiswa yang dia ajar.
Saya yakin dosen mana pun di luar sana akan berpikir dua kali untuk bahkan
sekadar mengacak-acak rambut seorang mahasiswinya, meskipun dilakukan di luar
area kampus dan meskipun mereka dekat. Apalagi, Rena dan Hendrawan baru bertemu
lagi setelah bertahun-tahun.
Saya
bukannya tidak suka dengan konsep hubungan romantis dosen-mahasiswi yang coba
diangkat dalam novel ini. Saya suka. Banyak juga kok contohnya, dosen yang
berjodoh dengan mahasiswinya. Hanya saja, saya rasa penulis juga harus mempertimbangkan
aspek-aspek tertentu yang sekiranya bisa menjadi “bumbu” dalam perkembangan
kisah itu. Bagaimanapun, adat Timur yang menjadi latar novel ini seharusnya
memberi batasan bagi Hendrawan dalam memperlakukan Rena (yang sudah
bertahun-tahun tidak dia temui).
Mereka
mungkin teman masa kecil, tapi Rena juga sudah dewasa. Dan kita semua tahu, intimacy akan memunculkan kesan yang
sangat berbeda ketika terjadi antara sesama anak-anak dengan ketika terjadi
pada sesama orang dewasa.
Tentang
Bagian yang Saya Suka
Ceritanya
ringan, tapi berkesan. Konflik yang terjadi antara tokoh Rena dan Diva tergali
dan tersaji dengan baik. Saya suka cara penulis menyisipkan tokoh Diva yang
diam-diam menusuk Rena dari belakang karena cemburu. Hahaha. Klasik, tapi itulah
yang terjadi di kehidupan sehari-hari.
Saya
juga sangat suka dengan cara yang digunakan penulis dalam mengungkapkan semua
yang ada di kepala Rena. Sebagai gadis remaja (mahasiswa baru masih pantas
disebut remaja, kan?), Rena begitu “hidup”. Dan dengan gaya tulisan seperti itu,
memang sangat cocok digunakan sudut pandang orang pertama. Perasaan kesal,
sebal, benci, marah tersampaikan dengan baik berkat kelugasan bahasa yang
digunakan. Membaca “Pacar 7 Jam” membuat saya merasa sedang mengintip diary renyah seorang gadis remaja yang
dituliskan dengan begitu jujur dan tanpa beban. Nice!
***
0 Comments