Edit:
Tulisan
ini sudah saya buat draft-nya sejak tiga minggu yang lalu, tapi baru saya selesaikan hari ini
setelah beredar “isu” bahwa bulan
Februari 2018 akan dibuka pendaftaran peserta PPG Prajabatan Bersubsidi 2018.
Semoga postingan ini bermanfaat.
Hal pertama yang saya lakukan waktu
itu adalah mendaftar di situs ppg.ristekdikti.go.id dengan cara membuat semacam
akun. Di dalamnya, saya mengisi beberapa macam informasi, mulai dari informasi
pribadi sampai informasi riwayat pendidikan dan diminta untuk mengunggah
beberapa macam dokumen.
Tahun 2017, cukup banyak program
studi yang ditawarkan oleh Kemristekdikti, di antaranya Matematika, Bahasa
Inggris, Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Pendidikan Anak Usia Dini, dan beberapa
bidang teknik. Untuk MIPA, tahun 2017 hanya ada Matematika. Saya tidak tahu
pertimbangan apa yang mendasari hal ini, tapi semoga saja tahun 2018 ini akan
lebih banyak lagi program studi yang tersedia, ya.
Seleksi PPG Prajabatan Bersubsidi
2017 yang saya ikuti tahun lalu terdiri dari tiga tahap, yaitu seleksi berkas,
seleksi tulis, dan seleksi bakat-minat.
Seleksi
Berkas
Seleksi berkas adalah awal dari
semua tahap seleksi PPG Prajabatan Bersubsidi 2017. Di halaman depan website, tertulis dokumen-dokumen yang
harus dipersiapkan oleh pendaftar, yaitu:
1.
Ijazah atau Surat Keterangan Lulus
2. Transkrip
Nilai
3. Pasfoto
4. Surat
Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK)
5. Surat
Keterangan Sehat Jasmani
6. Surat
Keterangan Sehat Rohani
7. Surat
Keterangan Bebas Narkoba
8.
Surat Pernyataan Belum Menikah (dan
bersedia tidak menikah selama menjalani pendidikan)
Pada tahap seleksi pertama ini,
panitia seleksi hanya mewajibkan kita untuk mengunggah scan ijazah/SKL, transkrip nilai, dan pasfoto. Dokumen-dokumen lain
tidak wajib diunggah, namun harus tersedia saat kita mengikuti seleksi
bakat-minat, dengan kata lain boleh diurus ketika sudah lulus seleksi tulis.
Jadi, saran saya, dokumen-dokumen
lain tersebut diurus belakangan saja, karena selain perlu waktu yang tidak
sedikit, kita juga harus mengeluarkan dana yang cukup besar.
Edit:
Saya
ingatkan lagi, ya, tulisan ini murni berisi pengalaman seleksi tahun 2017 dan
saya tidak tahu apakah proses seleksi tahun 2018 akan menerapkan aturan yang
sama.
Mengurus
SKCK
Mengurus Surat
Keterangan Catatan Kepolisian menurut saya gampang-gampang susah. Saya minta
surat pengantar dari Ketua RT yang ditujukan kepada Kepala Desa. Waktu itu,
saya sudah menemui Ketua RT saya pada pagi buta dan untungnya di sana sudah
tersedia form yang tinggal diisi sesuai keperluan.
Sampai di kantor
desa, saya menemui Sekretaris Desa untuk minta dibuatkan surat pengantar
mengurus SKCK. Saya ingat hari itu hari Senin, dan kepala desa saya sedang
mengikuti apel di kantor kecamatan.
Nah, inilah yang
saya katakan “gampang-gampang susah”.
Saya cukup
beruntung karena ke sana ke mari ditemani ibu saya yang basecamp-nya berada satu kompleks dengan kantor kecamatan. Bahkan saya
akhirnya minta tanda tangan kepala desa di pinggir jalan!
Jangan
ditiru, ya, gaes.
Di Kantor
Polsek, saya mengisi (kalau tidak salah ingat) dua buah form, berisi informasi
pribadi yang cukup lengkap dan pertanyaan-pertanyaan seputar catatan
pelanggaran yang pernah kita lakukan. Ada juga pertanyaan tentang riwayat
kunjungan ke luar negeri, dan lain sebagainya. Jangan lupa, kalau kalian
termasuk tipe orang yang dekat dengan orangtua, persiapkan semua dokumen yang
mungkin diperlukan, misalnya Kartu Keluarga, karena seingat saya ada isian
tentang tanggal lahir orang tua juga. Saya masih ingat, waktu itu ada mas-mas
yang kebingungan ngisi form-nya, karena dia nggak hapal tanggal lahir orang
tuanya, nggak ingat tahun berapa dia lulus sekolah, nggak hapal... banyak deh
pokoknya.
Iya,
ternyata ada lho orang yang begitu.
Setelah mengisi
dua form itu, saya dipersilakan menunggu sebentar sampai SKCK itu selesai
dibuat. Oh ya, jangan lupa membawa pasfoto ukuran 4x6 dengan background warna merah. Saya lupa berapa
banyak yang dibutuhkan, tapi lebih baik berjaga-jaga dengan membawa minimal
empat lembar, ya.
Untuk mengurus
SKCK, saya membayar PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) sebesar Rp30.000,-.
Mengurus
Surat Keterangan Bebas Narkoba
Surat Keterangan
Sehat Jasmani, Sehat Rohani, dan Bebas Narkoba bisa dilakukan sekaligus di satu
rumah sakit, tapi juga bisa dilakukan secara terpisah. Saya ingat ada yang
bilang pada saya kalau mengurus Surat Keterangan Bebas Narkoba di Kantor Badan
Narkotika Nasional (BNN) lebih murah daripada mengurusnya di rumah sakit. Tapi
demi efisiensi waktu, saya rasa menyelesaikan semuanya di satu tempat akan
lebih baik.
Untuk
mendapatkan Surat Keterangan Bebas Narkoba, prosedurnya tidak jauh berbeda
dengan tes kesehatan biasa. Saya diberi sebuah gelas kecil dengan tutup yang
diberi label berupa kertas bertuliskan nama, yang digunakan untuk menampung
urin. Lalu, ya sudah, Kita tinggal menunggu hasilnya keluar.
Di rumah sakit
tempat saya tes dulu, saya membayar Rp111.000,- untuk menjalani prosedur ini.
Mengurus
Surat Keterangan Sehat Jasmani
Surat Kesehatan
Jasmani saya dapatkan dari Poli Dalam, masih di rumah sakit yang sama. Di sana
saya diperiksa mulai dari berat badan, tinggi badan, tekanan darah, dan hal-hal
lain yang sifatnya umum. Cek kesehatan jasmani tidak terlalu memakan waktu
sebetulnya. Hanya saja, kalau antriannya panjang, ya, dikira-kira sendiri saja
supaya bisa dapat giliran awal.
Untuk
mendapatkan Surat Keterangan Sehat Jasmani, waktu itu saya membayar Rp15.000,-.
Ohya, ada kemungkinan biaya yang harus dikeluarkan dan prosedurnya berbeda-beda
antara rumah sakit satu dengan yang lain, karena teman saya bahkan ada yang harus
cek kemampuan penglihatan dan pendengaran juga sedangkan saya tidak.
Mengurus
Surat Keterangan Sehat Rohani
Prosedur
mendapatkan Surat Kesehatan Rohani adalah bagian yang paling berkesan bagi
saya. Ada tiga bagian tes di sini, yaitu tes untuk mengetahui potensi gangguan
psikis, tes kepribadian, dan (semacam) tes IQ.
Pada tes yang
pertama, yaitu tes untuk mengetahui apakah ada potensi gangguan psikis, saya
diminta untuk menjawab 175 pertanyaan tentang kondisi psikis yang kita rasakan
sendiri dan psikolog yang bertugas di sana berkali-kali menekankan bahwa kita
harus menjawabnya dengan jujur karena jika tidak dijawab dengan jujur semuanya
tetap akan ketahuan. Yah, saya paham sih. Di antara ratusan pertanyaan itu
pasti ada pertanyaan-pertanyaan yang fungsinya sebagai pengecoh, ya.
Oh ya, saya
masih ingat, di sampul paket pertanyaan itu tertulis MCMI-III. Setelah saya gugling, ternyata kepanjangannya adalah
Millon Clinical Multiaxial Inventory-III. Menurut Wikipedia dan beberapa situs
lain yang saya baca, tes yang diperuntukkan bagi orang dewasa ini memang bertujuan
untuk mengetahui gambaran kepribadian dan potensi psikopatologi.
Nah, ratusan
pertanyaan itu terdiri dari pertanyaan-pertanyaan semacam “Apakah Anda sering
merasa sedih tanpa alasan yang jelas?”, “Apakah Anda sering mengalami susah
tidur?”, atau “Apakah Anda pernah mengalami penyiksaan saat masih kecil?”
Semacam itu.
Nggak perlu belajar dulu kok. Hahaha.
Oh ya, berhubung
saya sudah lama membaca-baca artikel tentang Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), jadi di dalam paket soal itu—maaf,
bukan bermaksud sotoy—saya sempat beberapa
kali menduga bahwa pertanyaan-pertanyaan tertentu bertujuan untuk mengetahui
apakah seseorang menderita PTSD. Ada juga pertanyaan-pertanyaan yang sepertinya
bertujuan untuk mengetahui apakah seseorang punya gangguan obsesif-kompulsif—yang
tentu saja saya jawab dengan jujur! Sempat khawatir sih kalau tiba-tiba terkuak
bahwa ternyata saya didiagnosis menderita OCD akut. Hahaha. Tapi, ternyata nggak
sih. Di hasil akhirnya, saya cuma dibilang “perfeksionis”.
Setelah
menyelesaikan paket MCMI-III ini, saya kemudian diberi dua lembar kertas putih
polos ukuran A4 dan sebatang pensil. Pada kertas pertama, saya diminta untuk
menggambar sebatang pohon berkayu—bukan rumput-rumputan, bukan bangsa palma,
bukan pohon pisang, bukan beringin, dan semacamnya. Pokoknya harus pohon
berkayu.
Pada kertas
kedua, saya diminta menggambar manusia lengkap dari kepala sampai kaki. Spontan
saya menggambar bayangan pertama yang muncul di pikiran: seorang gadis muda
yang merupakan tokoh pendamping utama di draft
novel yang sudah mangkrak di laptop saya selama setahun terakhir.
Untungnya, saya nyaris tidak pernah mengalami kesulitan dengan menggambar
(yaelah sombong), jadi saya selesai dengan cepat. Saya bahkan sempat ikut melirik-lirik
gambar yang dibuat peserta tes di sebelah saya.
Ngomong-ngomong,
saya menggambar tokoh itu dengan pose berdiri tegak, tangan siap-grak,
pandangan lurus ke depan.
Yang lucu
adalah, setelah saya selesai menggambar, psikolog yang bertugas di situ meminta
saya menuliskan pohon apa yang saya gambar. Spontan saya gelagapan karena
awalnya nggak kepikiran mau menggambar pohon apa. Saya sekadar menggambar
pohon, mulai dari akar di tanah sampai ujung daun, minus buah dan bunga.
Akhirnya, secara serabutan saya gambari beberapa buah mangga lalu saya tulis di
bawahnya “pohon mangga”.
Pada kertas yang
bergambar manusia, saya juga diminta untuk menuliskan nama lengkap dari orang
yang saya gambar, usia, apa yang sedang dia lakukan, dan apa hubungan orang itu
dengan saya. Mati dua kalilah saya. Hahaha. Saya betul-betul nggak menyangka
bahwa saya akan dimintai informasi sedetail itu tentang orang yang saya gambar.
Pada akhirnya, saya nggak punya pilihan lain kecuali jujur tentang gambar itu:
menuliskan bahwa dia adalah tokoh fiktif dalam draft novel saya. Sumpah saya malu sendiri tiap membayangkan reaksi
psikolog itu waktu menganalisis gambar yang saya buat.
Pasti dia pikir
saya orang yang delusional deh. Hahaha.
Untungnya, sejak
awal saya memang sudah merancang tokoh itu dengan baik, mulai dari nama, tempat
tanggal lahir, pekerjaan, penampilan, dan lain sebagainya, sehingga saya nggak
bingung mengarang informasinya. Yah, semoga suatu saat naskah itu bisa selesai
dan menemukan jodoh penerbitnya supay kalian kenal dia juga. Hahaha.
Saran dari saya,
kalau diminta untuk menggambar pohon, gambarlah yang lengkap sehingga nggak
kebingungan ketika diminta menamai pohonnya. Begitu juga dengan saat menggambar
manusia, pikirkan baik-baik siapa yang digambar, termasuk kegiatan apa yang
sedang dilakukan.
Oh ya, tidak
semua rumah sakit bisa mengeluarkan Surat Keterangan Sehat Rohani karena tidak
semua rumah sakit memiliki Poli Psikologi. Tarif dan programnya sepertinya juga
beda-beda. Sebagai contoh saja, saya dulu membayar Rp125.000,-, sedangkan teman
saya di Probolinggo membayar Rp200.000,-.
Membuat
Surat Pernyataan Belum Menikah
Surat pernyataan
yang saya buat waktu itu saya tulis tangan sih, dan memang dari Kemristekdikti
tidak ada keharusan menggunakan format tertentu. Yang penting, unsur-unsurnya
lengkap, termasuk meterai 6000, dan jangan lupa: harus ditandatangani kepala
desa.
(Bersambung)
Sampai jumpa di
postingan bagian dua.
18 Comments
ReplyDeleteSangat menarik artikelnya. Jadi harus daftar dlu bru kelengkapan administrasi ya ? Kelanjutannya giman ?
Postingan berikutnya bisa dicek di sini ---> https://astiputrialfasani.blogspot.co.id/2018/05/pengalaman-seleksi-ppg-prajabatan.html
DeleteMana lanjutannya nih? Penasaran ada tes apa aja
ReplyDeleteSilakan -> https://astiputrialfasani.blogspot.co.id/2018/05/pengalaman-seleksi-ppg-prajabatan.html
DeleteLanjutannya dong kak 😊
ReplyDeleteMonggo -> https://astiputrialfasani.blogspot.co.id/2018/05/pengalaman-seleksi-ppg-prajabatan.html
DeleteMohon di lanjutkan ya kak hehehe
ReplyDeleteSudah, ya -> https://astiputrialfasani.blogspot.co.id/2018/05/pengalaman-seleksi-ppg-prajabatan.html
DeleteHallo kak, kmrn aku daftarnya sudah menyertakan semua berkasnya nih. Aku takut ngga lolos nih :((((
ReplyDeleteSemangat!
DeleteHi kak, alhamdulillah lolos seleksi admnistratif :)
Deletesaya juga llus
DeleteGood luck buat seleksi akademiknya...
DeleteLanjutannya ga bisa di klik ka
ReplyDeleteAda di postingan berikutnya kok.
Deleteadakah artikell kak tentang pengalaman proses tes minat dan bakat ?? masih belum ada gambaran nih.
ReplyDeleteKak boleh minta contoh surat keterangan belum menikah hehe
ReplyDeleteAssalamualaikum mau tanya kalau persyaratan yang dikumpulkan seperti surat napza, surat jasmani dan rohani, skck itu yang aslinya atau fotocopy yang dilegalisir?
ReplyDelete