It's Rainy Inside [Fanfiction 304th Study Room - "Rainy Day"]



IT’S RAINY INSIDE
oleh: Putri
  


“Saya tahu itu teru-teru bozu. Untuk apa?”
“Untuk mengusir hujan.”
“Astaga, Dirga. Saya juga tahu itu. Tapi tidak ada hujan di bulan Juli.”
Betul, Laoshi. Tapi selalu ada hujan badai... di dalam sini.”

***

Jika Li Yanjie ditanya apa hal yang paling mengesalkan di dunia ini, ia tidak punya pilihan lain kecuali memberikan jawaban “Dirga”. Ya, benar. Nyaris satu tahun menghilang tanpa kabar apa-apa, ternyata pemuda yang sempat menjadi murid bimbingannya itu berada di sini.
Di sebuah apartemen studio di wilayah padat penduduk jauh di pinggiran Tokyo!
Dan sekarang pemuda berambut hitam itu berdiri tepat di hadapan Yanjie, memberikan sambutan selamat datang berupa raut terkejut yang jelas tidak dapat disembunyikan.
“L-Laoshi?”
Wajah dengan raut terkejut itu akhirnya buka suara setelah beberapa saat hanya terpaku sambil menahan daun pintu agar tetap terbuka. Ini dia. Akhirnya Yanjie menemukannya, meski—oke, ia benci mengakui ini—harus meminta Park Hyunbin campur tangan dengan mengerahkan segenap anak buahnya untuk melakukan pelacakan.
Sejujurnya, Yanjie sudah menyiapkan ribuan pertanyaan yang semuanya mengerucut pada alasan kenapa Dirga menghilang begitu saja setelah mengikuti OSN-nya tahun lalu. Yanjie juga tidak habis pikir, bagaimana bisa anak itu tidak peduli pada hasil OSN-nya dan mendadak lenyap begitu saja.
Tapi sekarang Yanjie sudah menemukannya.
Dalam keadaan biasa, Yanjie mungkin akan menyemburkan kalimat andalannya: Maumu apa? Ngilang nggak ada kabar! Kamu minta di-smack down, hah?!
Tapi sekarang situasinya berbeda.
Melihat ekspresi Dirga yang tampak begitu redup dan pasrah, Yanjie yakin pemuda itu bahkan tidak akan berbuat apa-apa meski di-smack down lalu dilempar ke luar jendela.
“S-silakan masuk, Laoshi.
Yanjie mengangguk, lalu melangkah masuk melewati daun pintu yang terbuka. Dirga berjalan di depannya, tampak lebih jangkung dari yang ia bayangkan. Dan ketika berikutnya pemuda itu mempersilakan Yanjie duduk di sebuah satu set meja-kursi sederhana, Yanjie bisa melihat jelas ada yang salah dari Dirga. Yanjie tidak tahu kata apa yang tepat untuk menggambarkannya, tapi pemuda itu terlihat begitu... menyedihkan.
Kalau bukan karena wajahnya memang wajah yang begitu ia kenal, Yanjie rasa-rasanya sulit percaya bahwa pemuda di hadapannya ini adalah Dirga. Hei, ke mana hilangnya pemuda idola yang sering menggoda dan memanggilnya laogong dulu itu?
Pemuda yang ada di depan Yanjie ini memang Dirga, tapi rasanya... begitu asing. Cahaya matanya redup, dan cara bicaranya penuh keragu-raguan. Demi Tuhan, ke mana perginya pemuda yang tidak segan-segan mengutarakan kalimat-kalimat pedas dulu itu?
Yanjie menghela napas dalam-dalam, tidak bisa percaya bahwa dalam dua puluh empat tahun usianya, ada satu hari ketika ia harus menghadapi situasi seperti ini pada suatu malam di musim panas yang berangin di sebuah negara asing di seberang lautan!
Jujur saja, daripada melihat sosok asing seperti ini, Yanjie lebih senang dipanggil laogong saja oleh Dirga. Kau tahu, mengerikan sekali rasanya menempuh perjalanan ribuan mil hanya untuk menemui seseorang yang bahkan nyaris tidak bisa kau kenali selain wajahnya.
“Ehm, Laoshi,” suara Dirga membawa Yanjie kembali dari lamunannya. “Kalau Laoshi tidak keberatan, saya mau keluar sebentar.”
“Mau ke mana?”
“Eh... itu... saya...”
Mata Yanjie memicing. Mau menghindar, eh? Anak ini benar-benar... “Tidak usah. Di sini saja,” ucap Yanjie akhirnya. “Laoshi mau bicara.”
Oh ya, tunggu sebentar... apa yang Dirga katakan tadi? Saya? Sejak kapan anak itu menggunakan kata “saya”? Di kelas persiapan OSN dulu, Dirga malah satu-satunya murid yang hampir selalu menggunakan namanya sendiri untuk mengganti kata “saya”, tapi sekarang cara bicaranya bahkan lebih mirip Benedict versi canggung. Apa yang terjadi padanya?
Yanjie berdehem sebentar, mencoba mengumpulkan keyakinannya untuk menginterogasi Dirga saat ini juga. Ia sudah berusaha keras mencari anak ini—bahkan sampai harus melibatkan bosnya—jadi setidaknya ia harus mendapatkan jawaban.
Oke, pertanyaan pertama. Ke mana saja kau selama ini?
“Bagaimana kabarmu?”
Yanjie tertegun begitu menyadari malah pertanyaan basa-basi itu yang keluar dari mulutnya. Ia mengempaskan badannya ke sandaran kursi dan bertanya-tanya sendiri dalam hati kenapa ia jadi melow seperti Pak Zam begini. Kini bahkan salah satu sisi pikirannya tengah berteriak-teriak memprotes meluncurnya pertanyaan basa-basi yang tidak ada esensinya itu.
Dari sudut mata, Yanjie melihat Dirga menarik kursi di depannya. Ketika pemuda itu duduk, Yanjie bisa melihat jelas tulang selangka yang tampak lebih menonjol dari yang ia ingat—Dirga masih senang memakai kaus berleher lebar rupanya.
Lalu hening sejenak, sebelum beberapa detik berikutnya suara Dirga memecah kesunyian, “Saya... baik-baik saja.”
Bohong. Yanjie berdecak kesal. Dengan badan sekurus itu, dia bilang dia baik-baik saja?
Ah, terserahlah. Sekarang pertanyaan kedua—pertanyaan titipan Pak Zam, Benedict, Juna, Desyca... pertanyaan semua orang. Kenapa kau menghilang begitu saja satu tahun ini?
“Kenapa...” Yanjie menatap Dirga lekat-lekat. Pemuda itu tampak menekuri permukaan meja dengan jemari yang saling dikaitkan. Oke, tanyakan sekarang juga, Li Yanjie, sisi logis dari pikirannya kembali memprovokasi. “Ehm. Kenapa... kamu...”
“Kenapa kamu pucat begitu?” tanya Yanjie cepat.
“Eh?”
Yanjie kembali berdecak. “Ambil minum sana! Wajah pucatmu itu... mengganggu.”
Astaga, Yanjie, pikiran logisnya kembali menggedornya untuk menuntaskan ini, melawan habis-habisan sisi lain dari hatinya yang masih gigih menahannya agar tidak buru-buru dan seperti mengatakan, Benar, Yanjie. Tanyakan kabarnya dulu, pastikan dia baik-baik saja, setelah itu baru tanyakan apa yang ingin kau ketahui darinya. Pertimbangkan perasaannya juga... Itu tugas terpenting seorang guru.
Tunggu, yang terakhir itu sepertinya... kalimat Pak Zam.
Yanjie mengembuskan napasnya keras-keras, tidak habis pikir bagaimana ia yang sejauh ini hanya berkutat dengan urusan teknologi mutakhir di DG Group bisa-bisanya menjadi punya pikiran seperti Pak Zam? Ha!
Mungkin—ya, kemungkinan kecil—kalau suatu hari ia dipecat oleh Park Hyunbin, Yanjie akan menjadi guru saja.
Melihat Dirga masih tetap terpekur di tempatnya, Yanjie kembali berbicara, “Ambil minum sana!”
Lalu Yanjie tertegun. Hari ini pikirannya melayang tidak jelas. Memangnya apa hubungannya wajah pucat dengan mengambil air minum? Benar-benar basa-basi yang basi! Bodoh sekali.
Tanpa berkata apa-apa, Dirga bangkit dari duduknya lalu melangkah perlahan menuju sebuah kulkas kecil di pojok ruangan dan membukanya. Lama ia berdiri di sana, di depan pintu kulkas yang terbuka, hingga ketika berikutnya deheman Yanjie terdengar, pemuda itu buru-buru menutup pintu kulkas sambil menenteng dua botol air mineral. Salah satunya ia sodorkan kepada Yanjie.
“Kamu cuma punya ini?” todong Yanjie langsung. Matanya sibuk mengamati kemasan air minum mineral itu.
“Kalau Laoshi tidak keberatan, saya akan keluar sebentar.” Dirga mengulangi pertanyaan yang sudah ia ajukan tadi. “Ada minimarket dua ratus meter dari sini.”
Merasa tidak mendapat jawaban, Yanjie juga mengulangi pertanyaannya, “Kamu... cuma punya ini?”
“Y-ya, Laoshi.
Yanjie mendongak. Oh, Bapa. Ia cuma punya air putih saja di kulkasnya? Apa yang anak ini pikirkan hingga mau-maunya ia menjalani hidup yang semengenaskan ini?
Yanjie memandang berkeliling—apartemen studio yang ditempati Dirga ini nyaris tidak ada bedanya dengan kos-kosan ala mahasiswa yang banyak ia lihat di pelosok Jakarta. Dan... ia juga tidak habis pikir bagaimana Dirga bisa melepaskan kehidupan lamanya begitu saja—keluarga angkatnya, sekolahnya, prestasinya, hobinya...  Setidaknya kalau ia memang berniat kabur dari rumah dan menelantarkan pendidikannya, ia bisa jadi penyanyi, kan? Itu lebih baik tentunya. Atau bekerja pada Park Hyunbin, misalnya.
Oh, tidak, tidak. Jangan yang terakhir. Cukup Yanjie saja yang terjebak di tangan pria gila itu, jangan muridnya juga.
Yanjie mendengus. Ia benar-benar berpikir seperti seorang guru sekarang. Tapi Yanjie tidak tahan lagi. Anak ini benar-benar...
“Hei, Dirga! MAUMU APA SEBENARNYA, HA?!”

***

“Hei, Dirga! Maumu apa sebenarnya, ha?!”
Dirga mendongak. Akhirnya saat ini datang juga. Dirga tahu cepat atau lambat pertanyaan itu memang akan datang. Hari ini, pada hari ke-340 dari pelariannya, pertanyaan itu datang dengan perantara Laoshi Yanjie yang tampak menunggu jawabannya seperti singa lapar. Dirga bisa melihat sorot mata mantan gurunya itu. Berapi-api... dan dipenuhi binar tekad seolah sanggup menelan dirinya bulat-bulat jika jawaban yang ia lontarkan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
“Dirga,” Dirga mendengar Yanjie menghela napas keras-keras setelah memanggil namanya. “Yang kamu lakukan itu... benar-benar tidak bisa dipercaya.”
Angin dingin berembus, menghantam Dirga yang masih terdiam di tempatnya. Kilasan-kilasan kejadian tahun lalu terputar begitu saja di benaknya, diselingi potongan-potongan acak akan ingatan masa kecilnya, tempat semua ini bermula.
Suara Yanjie terdengar lagi, “Kehilangan Reihan saja sudah sangat buruk, lalu kamu juga pergi begitu saja tanpa kabar setelah mengikuti OSN.” Yanjie menelengkan kepalanya, memampangkan ekspresi keheranan. “Tapi ini bukan tentang OSN, atau medali emas, atau tentang beasiswa... Kamu tahu, ini tentang sikapmu.”
Dirga menggigit bibir bawahnya. Dadanya sesak seolah bisa meledak kapan saja. Seumur hidup, ia selalu mempertanyakan ini—mempertanyakan siapa yang patut dipersalahkan atas hidupnya yang berantakan. Tapi ia tidak pernah berhasil menemukan jawaban.
Dirga juga sering menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi tahun lalu, sebuah tragedi yang membuat dirinya terkungkung rasa bersalah yang begitu besar. Namun setiap kali merenung, Dirga tahu ada hal lain yang bisa disalahkan—masa kecilnya. Tapi tokoh utama pada masa kecil Dirga juga menyalahkannya. Mamanya.
Jadi siapa yang salah?
Mimpi mamanya yang hancur... itu salahnya?
Mimpi besar Maria sahabatnya hancur... itu juga salahnya.
Dan... Reihan.
Reihan yang sekarang sudah berada di surga... itu... itu salahnya juga? Atau salah masa kecilnya—salah mamanya? Tapi mamanya menyalahkannya juga...
Jadi, bagaimana?
Pada akhirnya Dirga memutuskan untuk melarikan diri dari semuanya setelah menyadari bahwa ia bukan hanya berbakat menghancurkan mimpi orang yang disayanginya, tapi juga berbakat menghilangkan nyawa orang-orang yang ada di sekitarnya.

***

“Hanya karena gagal mendapatkan medali emas, kamu tidak perlu sampai terpuruk dan kabur seperti ini, Dirga. Semua orang juga tahu saat itu kamu baru mengalami kecelakaan. Dan... katakanlah kita melihat kemungkinan terburuk—beasiswamu dicabut, misalnya, kamu masih punya banyak kesempatan lain. Laoshi juga tidak akan jatuh miskin kalaupun harus membiayai sekolahmu. See?
Yanjie sedikit terengah setelah mengucapkan rentetan kalimat panjang itu. Ia menatap Dirga tanpa kedip, lalu melanjutkan dengan nada menenangkan, “Dengar, Dirga. Laoshi tahu kamu pasti punya alasan melakukan ini semua. Laoshi tidak sedang menghakimimu, tapi setidaknya...” Yanjie berdehem sebentar. Ya ampun, apakah ia memang harus mengatakan ini?
“...setidaknya berceritalah pada Laoshi. Ya?”
Astaga. Yanjie merasa ia pasti sudah gila. Kalau ada Pak Zam di sini, pria itu sudah pasti juga akan ternganga. Dapat kalimat dari mana ia sampai bisa-bisanya membujuk Dirga sedemikian rupa?
Hening sejenak saat Yanjie mendapati Dirga menatapnya lama. Entah apa yang pemuda itu pikirkan, tapi sorot matanya seperti memaksa Yanjie untuk bersabar sedikit.
Dirga mendongakkan kepalanya sambil menghela napas panjang. Di atas meja, kedua tangannya yang berkeringat tampak saling meremas satu sama lain.
Yanjie masih bersabar menunggu.
L-Laoshi, kecelakaan tahun lalu itu... sebenarnya...”
Kedua mata Yanjie melebar. Mendengar insiden yang menyebabkan meninggalnya Reihan itu disebut oleh Dirga, Yanjie merasa degup jantungnya sedikit berubah irama dan hawa dingin seperti melingkupi tubuhnya secara tiba-tiba. Apakah angin musim panas memang sedingin ini... atau perasaannya saja?
Yanjie tidak sepenuhnya mengerti apa yang ada di balik kecelakaan itu, tapi yang jelas kematian Reihan dalam kecelakaan mobil bersama Dirga tahun lalu memang merupakan pukulan berat bagi mereka semua. Pak Zam bahkan mendapatkan sanksi berat karena dianggap lalai mengawasi murid-muridnya dalam masa karantina.
Setelah kecelakaan itu, Dirga memang berhasil melewati masa kritisnya, tapi Reihan tidak. Tepat sembilan hari sebelum pelaksanaan OSN, pemuda yang nyaris selalu terlihat ceria itu meninggalkan mereka semua.
“K-kecelakaan itu... sebenarnya... saya...”
Yanjie menegakkan duduknya mendengar Dirga kembali berbicara. Kalau dugaannya benar, sepertinya Dirga tahu sesuatu yang tersembunyi tentang kecelakaan itu.
Benak Yanjie mulai mengusung berbagai skenario. Status Reihan sebagai putra gubernur tentu membuka kemungkinan terhadap banyak hal. Apakah... kecelakaan itu bukan kecelakaan biasa?
Detik-detik berikutnya pun berlalu dalam keheningan karena Dirga masih belum melanjutkan perkataaannya, dan tanpa sadar tangan Yanjie terkepal. Ini mengesalkan sekali, seperti menunggu ending film yang tidak segera tuntas.
“Dirga,” Yanjie memanggil pemuda itu agar segera menyelesaikan bicaranya. “Katakan. Sekarang. Juga.”
Pemuda itu tergeragap dan mulai kembali buka suara. “L-Laoshi, s-saya—” kalimatnya terpotong ketika menyadari sesuatu yang ia gantungkan di tengah jendela yang terbuka baru saja diterpa angin dari luar sehingga melayang dan jatuh di dekat kaki meja. Dirga membungkuk, memungut benda kecil itu sedangkan Yanjie semakin gemas karena pemuda itu malah memperhatikan sesuatu yang tidak penting seperti... boneka penangkal hujan?
Dirga memasang boneka penangkal hujan di jendela apartemennya?
Yanjie memicingkan mata. Ia sering melihat boneka seperti itu di film maupun kartun-kartun Jepang. Dibuat menggunakan kain putih dengan kepala bulat dan digantungkan di jendela untuk—menurut kepercayaan—menangkal hujan. Ngomong-ngomong, bagaimana mereka menyebutnya... teri bozu? Teru bozu? Teru-teru bozu?
Ah, entahlah. Yanjie tidak ingin memusingkan hal itu.
Dan apa yang dilakukan Dirga dengan boneka itu? Yanjie berdecak. Betapa waktu satu tahun punya makna yang begitu luar biasa. Dirga yang setahunya selalu mendewakan logika... sekarang... mempercayai boneka penangkal hujan?
Lagipula, ini musim panas, jadi kalaupun anak itu percaya... apa tadi namanya... teru-teru bozu... tanpa boneka itu pun hujan tidak akan turun, kan?
Anak ini pasti sudah gila.
“Dirga! Letakkan itu dan selesaikan ceritamu sekarang juga.”
Pemuda itu bergeming, seperti tidak mengindahkan perkataan Yanjie dan malah beranjak untuk menggantung kembali boneka berkepala botak itu di tengah jendela.
“Dirga!”
Tapi yang dipanggil masih berdiri di depan jendela. Detik berikutnya, Yanjie malah mendapati pemuda itu memandangi boneka botak itu lekat-lekat—seperti memohon sesuatu—dan bergumam lirih seperti bersenandung, “...ashita tenki ni shite o-kure.
Tidak bisa dipercaya! Apa-apaan dia?!
“Dirga...”
Tetap tidak ada sahutan.
“HUANG JUNJIAN!”
Dirga akhirnya menoleh lalu menghela napas. Pemuda itu memejamkan matanya sejenak, seperti mengumpulkan keberanian untuk berbicara, masih dengan teru-teru bozu di tangannya. “I-ini...”
“Ya. Saya tahu. Itu sebuah teru—teri—teri bozu. Ya. Teri bozu.” Yanjie menyambar dengan tidak sabar.
Teru-teru bozu, Laoshi,” ralat Dirga pelan.
“Ya. Teri—”
Teru-teru bozu.
What the—!” Yanjie mengibaskan tangan kanannya dengan frustrasi. “Terserahlah apa namanya—dan kenapa kita malah membahas ini, ha?!”
Dirga tidak menyahut.
“Saya tahu itu teru-teru bozu,” sambung Yanjie cepat. Wajah kalem Dirga justru semakin membuatnya kesal. “Untuk apa?”
“Untuk mengusir hujan.”
Yanjie menggebrak meja, lalu menghela napas panjang setelah melihat Dirga sedikit tersentak kaget akibat ulahnya. “Astaga, Dirga...” Yanjie mendesah sambil menyisir rambutnya ke belakang. Dirga benar-benar menguji kesabarannya sampai ke titik tertinggi. “Saya juga tahu itu. Tapi tidak ada hujan di bulan Juli.”
“Betul, Laoshi. Tapi...” Sambil berbicara, pandangan pemuda itu menerawang jauh, seperti mengingat sesuatu.
Sementara Yanjie masih menunggu.

***

Pekanbaru, satu tahun yang lalu.

Pukul 00.37.
Reihan masih sempat melirik jam meja ketika ia merasa Dirga bergerak-gerak gelisah dalam tidurnya. Ia bangkit, menyalakan lampu, lalu dengan kesadaran yang belum sepenuhnya kembali, ia mendapati Dirga tertidur dengan badan kaku namun kepalanya bergerak gelisah di atas bantal. Wajahnya basah oleh keringat dan napasnya pendek-pendek hingga Reihan bahkan bisa melihat dadanya yang turun-naik dengan cepat.
 “Ga?” Reihan mencondongkan badannya, mengamati Dirga lebih dekat dan saat itu juga ia melihat raut wajah Dirga yang mengernyit seperti menahan sakit... entahlah... atau seperti orang yang sedang... ketakutan?
Mimpi buruk, eh?
Reihan menyimpulkan dengan cepat dan tahu-tahu tangannya sudah bergerak menyentuh bahu Dirga lalu menggoyang-goyangkannya perlahan. Reihan memanggil namanya lagi, “Ga?”
Tapi Dirga belum bangun juga.
Reihan menghela napas. Dasar tukang molor, ia membatin. Sejauh pengamatannya, Dirga memang cenderung susah dibangunkan dari tidurnya. Beberapa hari yang lalu pun anak itu bahkan masih tidur pada jam tujuh pagi sampai Bejo mengira ia sedang sakit. Sang ketua tim itu pun sampai menyuruh Reihan untuk kembali ke kamar dan mengecek apakah Dirga baik-baik saja.
Huh, sakit apanya? Reihan menggerutu dalam hati. Pagi itu Dirga ternyata malah masih tidur pulas dan ketika coba ia bangunkan, anak itu langsung duduk tegak sambil melanjutkan igauannya. Eh, sebentar, apa yang Dirga racaukan hari itu? Jangan... pukul?
Ya, sesuatu semacam itu.
Yang jelas, hari itu Dirga malah mendapatkan hadiah tonjokan darinya. Siapa yang tidak kesal, coba? Bayangkan kau sedang panik betulan, lalu orang yang kau cemaskan malah mengerjaimu dengan ekspresi ciluk-ba yang menyebalkan. Candaan yang garing sekali. Sungguh.
Dan... oh ya, lain kali daripada menonjoknya sendiri, Reihan akan minta tolong Laoshi Yanjie. Setidaknya, selama ini ancaman smack down dari gurunya itu masih cukup ampuh untuk menghentikan kelakuan-kelakuan tidak masuk akal bin ajaib yang mereka lakukan.
Oke, sekarang Reihan akan mencoba membangunkan Dirga sekali lagi. Kalau tidak bisa... ya sudahlah.
“Dirga, hei...”
Reihan baru saja akan mengulurkan tangannya kembali saat ia melihat Dirga seperti tersentak dalam tidurnya, sekilas tampak seperti orang sekarat yang sedang ditangani dokter menggunakan alat kejut jantung—oke, yang ini mungkin agak berlebihan, tapi Reihan jelas melihat badan Dirga yang memang berjengit sedikit. Setelahnya, wajah Dirga tampak semakin berkeringat dan berikutnya Reihan malah mendengar gumaman-gumaman lirih keluar begitu saja dari mulutnya.
Mengigau lagi?
Reihan menatap Dirga tanpa kedip. Ia mendengus geli, berpikir apa jadinya kalau fans-fans Dirga yang bejibun itu tahu kalau idolanya adalah spesies yang suka ngelindur saat tidur. Reihan hampir saja cekikikan dengan gila namun tiba-tiba racauan Dirga menjadi agak jelas untuk ia dengar.
“Ng-nggak, Ma... J-jian nggak—”
Seiring dengan racauannya, Reihan mendapati Dirga bergerak-gerak semakin liar, lalu...
“GA!” Reihan akhirnya menyentak bahu Dirga kuat-kuat ketika dilihatnya anak itu kini malah megap-megap seperti kehabisan udara. Oke, ia agak panik sekarang. “DIRGA, BANGUN!”
Detik berikutnya Reihan mengembuskan napas lega ketika Dirga akhirnya terbangun. Tapi anak itu duduk dengan kepala tertunduk sehingga Reihan tidak dapat melihat raut wajahnya.
“Ga, kamu—” Reihan baru akan bertanya apakah teman sekamarnya itu baik-baik saja ketika ia menyadari bahwa ternyata badan Dirga gemetaran. Kedua tangannya terkepal, meremas selimutnya erat-erat. Napasnya pun tidak beraturan sampai Reihan bisa mendengar tarikan udaranya yang berat.
“Kamu... nggak apa-apa?” Reihan meraih pergelangan tangan Dirga.
Astaga!
Reihan menautkan alisnya—tangan Dirga berkeringat dan dingin sekali. Ia lalu menyentak badan Dirga, memaksanya mendongak dan ia mendapati teman sekamarnya itu menatapnya dengan pandangan nanar namun begitu kosong. “Kamu sakit, Ga? Aku telepon Pak Zam ya.”
Namun Dirga tidak merespons meskipun jelas-jelas matanya menatap Reihan lurus-lurus.
Merasa Dirga tidak menangkap apa yang ia katakan, Reihan akhirnya mengguncang badan Dirga sekali lagi. Berhasil. Anak itu tampak tergeragap sebentar lalu mengerjap-ngerjapkan matanya.
“R-Rei?”
Dirga menggaruk belakang kepalanya, tampak agak salah tingkah lalu berikutnya ia langsung tersenyum lebar sambil berujar dengan nada meminta maaf. “Dirga bikin Rei terbangun ya?”
Reihan mengangkat alisnya. Ini tidak seperti yang ia duga. Sebelumnya, Reihan membayangkan Dirga akan kembali memamerkan wajah ciluk-ba-nya untuk mengerjainya, tapi ternyata tidak. Yang didapatkan Reihan sekarang malah sebuah senyum lebar yang hambar dan tampak... dipaksakan. Reihan bisa merasakannya karena napas Dirga yang tidak beraturan itu masih sangat kentara, berkebalikan dengan ekspresi wajahnya yang terlihat biasa saja—atau sengaja dibuat biasa saja?
Reihan tertegun sejenak.
Ada yang tidak benar.

***

Beberapa hari setelahnya...

Sambil bersedekap memandang jendela, Dirga memperhatikan hujan yang turun di luar. Tidak deras, memang, tapi butir-butirnya yang jatuh dengan konstan itu membuatnya kesal setengah mati. Dirga tidak suka hujan—segala sesuatu jadi terasa suram. Termasuk perasaannya.
Atau hidupnya memang ditakdirkan suram?
Dirga berdecak lalu memandang sekeliling. Dua puluh menit yang lalu, Laoshi Yanjie memberikan tiga soal esai dadakan dan saat ini sedang memeriksa lembar jawaban mereka sambil memberi kesempatan untuk beristirahat sejenak.
Di seberang meja tepat di hadapannya, Juna tampak sibuk mengotak-atik PSP—bukan pemandangan istimewa. Bosan, Dirga mengalihkan pandangan. Di sebelah kirinya, Dirga mendapati bahu Reihan terguncang-guncang selagi tergelak menertawakan Bejo yang baru saja menemukan kalkulatornya setelah ia sembunyikan.
Ck! Teman sekamarnya itu memang kadang kelewat iseng.
Setelah Reihan, pandangan Dirga tertumbuk pada Desyca. Gadis itu tampak sedang sibuk menulis sesuatu sambil sesekali memain-mainkan rambutnya menggunakan pensil. Beberapa saat Dirga mengamati apa yang dikerjakan Desyca hingga ketika gadis itu membalik kertasnya, Dirga tahu bahwa gadis itu sedang mengerjakan ulang soal yang tadi diberikan oleh Laoshi Yanjie.
Senyum sinis terulas di bibir Dirga. Sedang berusaha keras untuk menang, eh?
Supaya bisa kuliah di Nanyang?
Supaya bisa jadi astronot?
Naif sekali.
Melihat Desyca, suasana hati Dirga kembali memburuk. Terbayang olehnya beberapa malam terakhir yang ia habiskan dengan tidur yang sama sekali tidak bisa dibilang nyenyak karena mimpi buruk. Kalau saja gadis itu tahu, omong kosong tentang impian dan cita-cita yang ia tuturkan tempo hari telah membangkitkan semua kenangan buruk yang disimpan Dirga dalam-dalam.
Semua penderitaannya.
Semua memori masa kecilnya.
Semua rasa sakit yang pernah dialaminya!
Dirga menggeleng-gelengkan kepala, mencoba mengusir semua bayangan mengerikan yang datang ke mimpinya hari-hari belakangan. Itu mimpi buruk yang sama. Mimpi yang menghantuinya hampir setiap hari bertahun-tahun yang lalu, kemudian hanya datang beberapa kali sejak ia tinggal dalam kehangatan di tengah keluarga Zhang, tapi nyaris tidak pernah menghampirinya lagi beberapa bulan terakhir...
Mimpi yang tokoh utamanya adalah dua orang yang ingin Dirga lupakan selamanya!
Mama.
Dan wanita jahat yang mengaku sebagai mantan kekasih papanya itu.
Rangkaian mimpi buruk yang sama kembali menghantui Dirga setelah siangnya Desyca mencak-mencak dan menunjuk-nunjuk wajahnya dengan ujung sendok sambil menceramahinya untuk mengikuti passion meskipun ditentang siapa saja.
Ck! Memangnya dia tahu apa?
Gadis itu juga menguliahinya tentang impian—satu kata magis yang selalu membuat jiwa Dirga terempas keras-keras pada pedihnya kenyataan.
Sialan. Mungkin karena itulah mimpi buruknya kembali datang.
Dirga selalu ingat bagaimana perasaannya tiap kali mimpi itu datang—rasa takut, cemas, kesal, marah, sedih, dan putus asa semuanya teraduk menjadi satu tanpa bisa ia lawan. Mimpi-mimpi buruk itu... Dirga selalu menjadi korban di sana. Dipukul, ditampar, ditendang... tergeletak penuh luka... dan tidak ada yang datang menolongnya.
Begitu lemah.
Begitu tidak berdaya.
Dan tidak bisa berbuat apa-apa!
Lalu ia akan terbangun dengan rasa takut yang nyata dan badan gemetaran seolah kejadian-kejadian itu baru terjadi kemarin. Tidak jarang juga ia tidak bisa tidur lagi setelahnya sehingga ia memutuskan untuk menghabiskan waktu untuk belajar hingga tertidur begitu saja menjelang pagi sambil memegang buku.
Apakah ia menderita?
Entahlah.
Menderita atau tidak, yang jelas Dirga sudah biasa. Ia memang sudah tidak menangis lagi, tapi mimpi buruk itu selalu berhasil membuatnya terpuruk dengan sangat menyedihkan.
Seperti saat tengah malam beberapa hari yang lalu.
Reihan membangunkannya tepat saat ia sedang menangis di alam bawah sadar, terjerembab tepat di bawah telapak kaki ibu kandungnya sambil meratap dan memohon-mohon agar wanita itu berhenti menyakiti dirinya.
Lupakan itu, Dirga...
Ga...
“HOI, GA!”
Dirga tersentak begitu menyadari suara yang menyebutkan namanya belakangan ternyata bukan berasal dari pikirannya, tapi dari pemuda gondrong yang duduk di sebelahnya. Dirga langsung memasang wajah protes, “Rei apa-apaan sih? Dirga kaget tau!”
Menyadari semua mata tengah tertuju padanya, Dirga segera memampangkan wajah cemberut nan manja yang selama ini ia tunjukkan pada semua orang. Wajah palsunya. Topengnya. Hanya itu yang ia punya dan yang bisa ia gunakan untuk menutupi luka-luka yang menganga dalam hatinya—semata agar ia terlihat baik-baik saja.

***

“Kita mau ke mana, Rei?”
Sekilas Reihan melirik Dirga yang tampak menyandar santai pada jok mobil di sebelah kirinya. Reihan menghela napas lega. Ia sudah membuat janji dengan seseorang yang cukup penting malam ini dan akhirnya ia diperbolehkan keluar oleh Laoshi Yanjie dan Pak Zam setelah mati-matian merengek meminta izin—well, sebenarnya bukan Reihan yang melakukannya, tapi Dirga.
Reihan tertawa sendiri mengingat kejadian tadi. Benar-benar tidak bisa dipercaya. Ketika Reihan yang meminta izin, Laoshi Yanjie bersikukuh tidak memperbolehkan, tapi ketika Dirga yang melakukannya—tentu dengan ancaman akan menempel pada laogong-nya itu sepanjang hari—pria berambut pirang itu langsung mengiyakan dan menyuruhnya segera pergi. Pak Zam bahkan bersedia meminjamkan mobilnya.
Reihan kembali tergelak.
“Hei, Ga.” Reihan memanggil Dirga, sambil matanya tetap fokus pada mobil-mobil di depannya yang tampak nekad ngebut juga meski hujan belum menampakkan tanda-tanda akan reda. “Aku baru tahu kalau aksi ala kucing garong-mu itu ada gunanya juga.”
“Oh, my pleasure...” Terdengar tawa lepas Dirga di sebelahnya. “Asal jangan lupa saja janji traktirannya setelah urusanmu selesai nanti ya—oh ya, urusan apa sih memangnya? Penting banget ya? Dan kenapa cuma ngajak Dirga?” tanya Dirga beruntun.
Reihan terdiam sebentar, menimbang-nimbang lalu menghela napas. “Ehm.” Mungkin ia memang harus mengatakan ini sekarang, meski rencananya ia baru akan menjelaskan nanti saat sudah bertemu orang itu. “Jadi gini nih, Ga. Aku... kan kenal seseorang... dan kita sedang dalam perjalanan untuk ketemu dia.”
“Rei mau kencan?” potong Dirga cepat. “Terus Dirga gimana dong? Rei tega ya jadiin Dirga obat nyamuk?” lanjutnya dengan wajah genit seperti saat meminta izin pada Laoshi Yanjie.
“Bukan. Dasar kucing garong!” gerutu Reihan sambil melirik Dirga dengan ekspresi ngeri. “Kuperingatkan kau ya, jangan sekali-kali menampilkan wajah kucing garong-mu itu di depanku! Aku bisa gatal-gatal nanti.”
Dirga tergelak.
Setelah tawa Dirga reda, Reihan kembali buka suara. “Jadi gini, Ga. Beberapa hari terakhir—eh sudah lama juga sih, kuamati sepertinya... kau...” Reihan bertanya dengan hati-hati, belum yakin apakah ia memilih kalimat yang tepat untuk menanyakannya, “...sepertinya kau sering mimpi buruk, ya? Sampai terbangun tengah malam terus ujung-ujungnya jadi belajar karena nggak bisa tidur lagi. Aku... aku tahu lho, Ga.”
Suasana mendadak hening.
Dari sudut mata, Reihan jelas melihat badan Dirga sedikit menegang. Dan meski wajahnya tetap datar, tapi ekspresi sok imutnya langsung lenyap dan mata temannya itu menerawang jauh. “Jadi?” tanyanya tanpa memandang Reihan.
“Jadi... seseorang yang akan kita temui ini... mungkin... bisa membantumu...”
“Apa maksudmu?!” Dirga memotong cepat sambil menoleh. Sorot matanya terlihat berbeda—ada luka di sana. Reihan bisa melihatnya meski masih fokus menyetir.
Reihan melanjutkan bicaranya, “Orang ini kenalanku... dia... psikiater, jadi—”
“Aku nggak gila, Rei!”
Mendengar seruan Dirga, Reihan terperanjat. “B-bukannya gitu, Ga.” Ia melambaikan tangan kirinya cepat-cepat. “Aku cuma mau bantu kamu, barangkali kamu nggak pernah kepikiran soal ini. Tolong jangan salah paham.”
Hening sejenak, dan Reihan mendengar Dirga menghela napas panjang lalu menunduk. Hujan makin deras mengguyur kaca depan, dan Reihan merasa hawa tidak enak mulai melingkupi mereka berdua.
“Setelah aku cerita panjang lebar tentangmu, temanku ini bilang...” Reihan melirik Dirga sejenak, mengantisipasi kemungkinan yang barangkali akan terjadi. “Temanku ini bilang, mungkin—ya, ini baru kemungkinan—kamu mengalami... eh... apa namanya kemarin ya... post-traumatic stress disorder kalau nggak salah. Semacam trauma berkepanjangan karena sesuatu hal gitu deh. Aku... kurang paham juga sih, jadi nanti kamu bisa tanya ke dia. Aku juga sudah bilang kan... kalau kau punya masalah, jangan segan-segan padaku kalau mau cerita atau butuh bantuan apa saja.”
Melihat Dirga yang masih mematung, Reihan menjadi tidak enak hati.
Apa Dirga tersinggung?
Pikiran itu membuat Reihan buru-buru menambahkan, “Ta-tapi nggak apa-apa kok, Ga. Temanku bilang itu bukan masalah serius. Bisa disembuhkan kalau—”
“Putar balik mobilnya, Rei!”
“Eh?”
“Putar balik, Rei!” seru Dirga keras.
Reihan menggigit bibirnya, ia tidak memperkirakan ini akan terjadi. “Ga, tolong percaya sama aku. I-itu bukan masalah serius, tapi—”
“REI!” Dirga menghardiknya sambil memukul dasbor. Wajah pemuda itu memerah, dengan ekspresi dingin yang sama sekali belum pernah Reihan lihat sebelumnya. “Kamu nggak berhak ikut campur soal ini!”
“Kamu temanku, Ga! Aku cuma mau bantu...”
“Aku... nggak butuh bantuanmu,” tandas Dirga pedas. “Aku nggak butuh apa-apa, jadi... Rei... putar balik atau biarkan aku turun di sini sekarang juga!” ujarnya keras sambil mencondongkan badan dan berusaha menggerakkan tangan Reihan ke arah yang ia inginkan.
“HEI!” teriak Reihan sambil menepis tangan Dirga dari roda kemudi. Saat itu juga suara klakson yang nyaring terdengar dari arah belakang, membuat jantungnya berdetak beberapa kali lebih cepat.
“Ga, tetap di situ!” sergah Reihan lagi begitu melihat Dirga berusaha membuka pintu mobil sebelah kiri setelah melepas seatbelt-nya, mengguncang-guncangkan handle-nya padahal semua pintu terkunci. Temannya itu sepertinya bisa menjadi benar-benar nekad—ini juga tidak terbayangkan oleh Reihan. Sambil menyetir, ia sesekali menoleh ke kiri, memastikan Dirga tidak melakukan sesuatu yang mungkin akan mencelakakan mereka berdua.
Dirga pasti tersinggung.
“Oke, kita balik sekarang,” putus Reihan sambil menepuk bahu Dirga pelan lalu dengan sebelah tangan ia memasangkan kembali sabuk pengaman di kursi Dirga, sementara pemuda berambut hitam itu memandangnya dengan tatapan yang menusuk, seakan menyuarakan aku-baru-tahu-kau-selancang-ini.
Lalu pikiran Reihan melayang-layang, memikirkan kemungkinan persahabatan mereka mungkin tidak akan sama lagi setelah ini.
Reihan mengutuki dirinya sendiri. Ia tahu, bagaimanapun, seharusnya ia meminta persetujuan Dirga terlebih dahulu, bukannya langsung mengajaknya pergi dan memberitahunya di perjalanan seperti ini.
Bodohnya...
Bodoh sekali...
“H-HEI, HEI! HEI! R-REI! Perhatikan jalannya!”
Reihan mendadak tersentak dari lamunannya karena seruan Dirga. Ia masih berusaha mengumpulkan pikirannya yang tercecer ketika Dirga menarik tangan kirinya, membantunya membanting setir—tapi saat itu juga Reihan sadar ia sudah melanggar marka.
Detik berikutnya, yang ia lihat hanya guyuran hujan yang masih begitu lebat dan bumper truk yang mendekat dengan cepat, lalu ketika suara klakson dan benturan keras seperti memecahkan gendang telinganya, ia merasa dunia di depannya sudah terbalik begitu saja.

***

Tokyo, Juli 2016.

Dirga memejamkan matanya sejenak. Ingatannya melayang pada suatu malam hampir satu tahun yang lalu, ketika sikap kekanak-kanakannya telah membuat seseorang yang tidak bersalah kehilangan nyawa.
Reihan.
Reihan yang baik...
Reihan yang berniat membantunya untuk lepas dari trauma berkepanjangan, tapi Dirga malah menghancurkan segalanya.
Maaf, Rei...
Dirga membuka mata, menatap teru-teru bozu yang ada di tangannya. Sejak kecelakaan itu terjadi, perasaannya selalu diselimuti selubung mendung. Pedih dan muram seperti hujan.
Ia memang selalu benci hujan. Jatuhnya butir-butir air itu selalu membawa suasana gelap—seperti hidupnya yang berantakan.
Selama satu tahun ini, satu-satunya hal yang ia pikirkan adalah bagaimana agar semua rasa bersalah yang bercokol dalam dirinya itu bisa pergi—tapi tidak pernah bisa. Ia mencoba segala cara, termasuk berkelana dari satu tempat ke tempat lain dan meninggalkan semua orang yang ia kenal, semata agar ia bisa melupakan semuanya.
Untuk sekian lama ia hanya menapaki langkah demi langkah, bergabung dengan imigran-imigran ilegal dari satu tempat ke tempat lain, menumpang kapal gelap, bekerja apa saja, hingga ketika pelariannya sampai di negara ini dan ia melihat banyak orang menggantungkan harapannya pada teru-teru bozu agar hujan tidak turun keesokan harinya, saat itu pula untuk kali pertama Dirga ingin berhenti melarikan diri.
Jadi, ternyata ada boneka yang katanya bisa menangkal hujan.
Lalu ia mencobanya, sambil berharap boneka itu juga bisa mengusir hujan yang ada di hatinya.
Persetan dengan logika. Toh sejauh ini ia juga tidak berhasil menemukan logika apa yang paling tepat untuk menjelaskan hidupnya yang berantakan itu.
Jadi beginilah ia sekarang, menggantung teru-teru bozu setiap hari di jendela apartemennya sambil berharap esok hari akan jadi lebih baik untuknya, persis seperti potongan lirik lagu tentang teru-teru bozu yang sering dinyanyikan anak-anak kecil di sekitar apartemennya setelah menggantung boneka berkepala botak itu di ranting sakura, “...Teru-teru bozu... teru bozu... ashita tenki ni shite o-kure...” Buatlah esok hari jadi cerah untukku.
...
Lamunannya terputus begitu saja ketika Yanjie memukul meja setelah ia bilang memasang teru-teru bozu untuk mengusir hujan. “Astaga, Dirga...” Ia bisa menangkap nada jengkel dari kalimat gurunya itu. “Saya juga tahu itu. Tapi tidak ada hujan di bulan Juli.”
Ya. Ia sepenuhnya tahu bulan ini tidak akan ada hujan, tapi gurunya itu tentu tidak mengerti bahwa ia ingin mengusir hujan yang lain—hujan yang selalu turun di dalam hatinya seperti air mata yang tidak ada habisnya.
Tapi bagaimana cara mengatakannya agar Laoshi-nya yang ternyata peduli padanya itu juga bisa mengerti?
“Betul, Laoshi. Tapi...” tanpa sadar ia mencengkeram kausnya di bagian dada—sebuah rongga besar tempat menampung semua rasa sakitnya, “...selalu ada hujan badai... di dalam sini.”

***

Sementara itu di seberang meja, Li Yanjie masih menunggu jawabannya.


~ FIN ~

Post a Comment

4 Comments

  1. kirain walnya ini bakal romance ReiGa *otaknista tapi ternyata friendship....tapi ini beneran keren lho, suka bgt sama diksinya
    tapi kenapa Reihan musti ninggal T^T

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halooo, thanks banget ya udah sudi baca.

      Hahaha, aku nggak bisa bikin cerita bromance. Nggak kuat ngetiknya. *alesan* *belum pernah coba juga sih sebetulnya* XD

      Fyi, kamu orang kedua yang mempertanyakan kenapa harus Reihan yang meninggal. Wkwkwk. Kapan-kapan Juna deh yang dibikin mati. :D

      Delete
    2. jahat ihh, bagus kok. Nggak tega liat bang Dirga ngenes gitu,,

      Delete
    3. Ahaha. Makasih banyak udah baca. :)

      Delete