Contoh Cerpen Remaja: GGS - Gara-Gara Singkong

Halo!

Ini cerpen yang saya buat bertahun-tahun lalu

untuk memenuhi tugas membuat cerpen remaja

saat ikut UKM kepenulisan di kampus. Enjoy!

 

***

Perdebatan ribet tentang singkong ini benar-benar membuatku hamper gila!

“Na, tolong bilangin sama dia, nanti sore aku nggak jadi minta dianter beli celana.”

Kutelengkan kepala sambil melakukan penghitungan cepat dalam hati. Kalau tidak salah hitung, ini pesan ketujuh yang harus kulayangkan ke arah kiri.

“Ogah!” sahutku cepat.

“Ayolah, Na… Please… Bilang ke dia, aku males jalan sama cowok yang nggak punya perasaan.

“Nggak mau!”

Tiba-tiba kurasakan bahuku terguncang pelan dan dengan terpaksa kutolehkan kepala ke arah kanan. Kudapati gadis manis berambut panjang yang menyebalkan ini tengah menatapku dengan pandangan memaksa.

“Aku nggak mau! Ngomong sendiri sana!” tukasku cepat. “Emangnya kamu pikir aku ini petugas pos, apa?!” Pandanganku kembali tertuju pada keyboard, mencoba fokus pada algoritma-algoritma yang harus kumasukkan ke program.

Huruf-huruf yang kuketik mulai muncul satu per satu ketika Farah kembali menggoyang-goyangkan lengan kananku. Aish, anak ini benar-benar…

 “Na…” kali ini tatapannya mulai memelas, membuatku tidak tega bersikap apatis lebih lama.

Kuhela napas keras-keras, hanya untuk menunjukkan—supaya dia tahu bahwa permintaannya sangat menyebalkan. “Ini yang terakhir, ya,” ancamku.

Setelah kupastikan ia mengangguk, kuputar kepalaku ke arah kiri, pada sosok pemuda berjaket cokelat gelap yang—kalau boleh jujur—tidak kalah menyebalkannya.

“Ndre,” kupanggil pemuda itu pelan-pelan. Farah bilang…

Ia menoleh sekilas. “Apa lagi?” tanyanya ketus sambil kembali menatap monitor.

Aku memberengut sebal dengan rasa panas di seluruh wajah—urung menyampaikan pesan dari Farah. Pendingin udara di laboratorium komputer ini pun seakan berhenti bekerja—gara-gara pasangan alay yang satu ini. Sialan!

Kalau Andre saja kesal, apalagi aku? Bayangkan, sejak dua jam yang lalu aku sudah berada pada posisi tidak menyenangkan ini. Duduk di antara mereka berdua, dipaksa menjadi pengantar pesan satu arah dari Farah ke Andre, dan menerima pandangan kesal yang dilayangkan Andre kepada Farah. Dalam hati aku mengutuk nasib yang hari ini sangat tidak berpihak padaku. Datang terlambat, dihujani tatapan menusuk dari dosen, dan puncaknya harus duduk di tempat tidak menyenangkan ini—di hadapan satu-satunya komputer waras yang tersisa, di antara sepasang kekasih yang sedang mengibarkan bendera Rusia-Amerika!

Sebentar lagi aku pasti terserang gangguan jiwa.

“Udah, Na, kamu diam aja di situ,” suara berat Andre mendadak memecah suasana tidak menyenangkan yang masih akan berlangsung setengah jam lagi ini—setidaknya sampai dosen pemrograman ini keluar ruangan. “Ini urusanku sama Farah,” lanjutnya.

Aku hanya tertegun tanpa bisa berbuat apa-apa selain nyengir dan menguatkan diri.

“Si Farah ngomong, aku juga dengar kok. Jadi kamu nggak perlu jadi kurir begitu.”

Hening sejenak… dan rasanya aku tidak kuat lagi.

“HEH! Kalian ini kenapa sih?”

***

“JADI CUMA KARENA SINGKONG?!”

Farah kembali meledak-ledak. “Kamu bilang ‘cuma’? Cuma? Kamu nggak ngerti gimana rasanya jadi aku, Na.”

Kugelengkan kepalaku sambil berdecak. Bisa-bisanya mereka saling diam seharian hanya karena… singkong? Aku benar-benar tidak habis pikir. Kalau semua pasangan seperti mereka, aku yakin petugas Pengadilan Agama yang menangani perceraian tidak pernah punya hari libur.

“Kamu nggak ngerti, rasanya tuh sakit banget, Na,” Farah kembali mengoceh. “Sakitnya tuh di sini…” lanjutnya sambil memerankan adegan di sinetron yang paling kubenci—menepuk dada.

“Coba bayangin kalau kamu jadi aku, Na.” Ia menyilangkan kaki. “Aku cuma mau beli singkong keju! Apa yang salah, coba?”

“Mungkin—”

“DAN aku juga nggak minta dibeliin kok!” potongnya cepat. “Aku cuma minta dianter!”

Kuhela napas panjang, pasrah. “Far…"

“Bayangkan, Na… Cowok macam apa yang nggak mau ngantar pacarnya beli singkong keju? Belum jadi suami aja udah begitu, gimana nanti, coba?!”

***

“Jadi cuma karena singkong aja kalian saling diam begini?”

“Cuma?” Andre membelalakkan matanya sambil mendengus. “Kamu bilang ‘cuma’?”

Deja vu. Baru beberapa puluh menit yang lalu Farah mengatakan hal yang sama. Kuhela napas panjang seraya menanggapi, “Kalian berantem itu artinya dunia kiamat, tau?! Semua orang jadi korban bawelnya si Farah. Jadi korban kesinisanmu juga.”

Andre melirikku santai. “Kamu bakal sebal juga kalau jadi aku, Na.”

Alis kananku terangkat sedikit, “Sebenernya cerita lengkapnya gimana sih?”

Andre tampak menimbang-nimbang sebentar sebelum memutuskan untuk bercerita, “Kemarin dia minta diantar beli singkong keju... dan aku nggak mau!”

“Berarti kamu yang salah,” tandasku. “Masa permintaan gitu aja kamu nggak mau nurutin?”

“Masalahnya bukan mau atau nggak mau, Na!” potongnya cepat sambil membuka pintu ruang dosen. Diletakkannya setumpuk kertas tugas di atas meja, lalu dengan nada datar ia kembali bersuara, “Bayangin, si Farah mau beli singkong keju sekotak kecil seharga delapan ribu rupiah! Jelas aja aku nggak setuju.”

“Kenapa emangnya?”

“Kukasih tahu kamu, ya. Keluargaku hidup dari singkong. Bapakku, ibuku, dan semua orang di kampungku berladang singkong. Kamu bisa bayangin nggak, gimana rasanya jadi aku waktu si Farah maksa beli sekotak keciiil singkong yang harganya delapan ribu?”

Sekarang aku mulai paham.

Andre kembali melanjutkan, “Aku udah sering bilang ke dia untuk nggak gampang terpengaruh iklan atau apalah, tapi tetep aja…”

“Tapi kalian kan—”

“Aku tahu masalah singkong ini sepele, tapi sesekali aku perlu bikin dia ngerti bahwa nggak semua hal yang keliatannya stylish harus diikuti. Singkong ya tetep aja singkong. Ditambah keju pun tetep aja jadi singkong!” tegasnya pedas. “Kalau mau, dia bisa ikut aku pulang kampung dan makan singkong semaunya sampai kenyang. BONUS daunnya buat urap selama seminggu penuh!”

“Ah, jangan terlalu emosional gitu lah… Kalian udah setahun lebih pacaran, masa berantem parah begini  cuma gara-gara singkong? Putus gara-gara singkong... ih, nggak lucu deh!”

Andre mengalihkan pandangannya sambil bergumam santai, “Itu masalahnya. Aku telanjur sayang banget sama dia.

Gubrak! Mereka ini benar-benar...

***

Suasana kelas hening. Aku mengendap-endap bersama Tiara dan Moni, menuju ke deretan kursi bagian belakang sambil membawa dua kotak kecil.

“Kita cek lagi,” komandoku sambil membuka kotak pertama.

Moni mengangkat tangannya, menjentikkan jari sambil tertawa kecil. “Oke.”

“Kotak yang ini gimana?” aku bertanya pada Tiara yang tengah sibuk memandangi isi kotak yang dipegangnya.

Ia menyahut pelan, “Sip!” Perlahan ia berjalan menuju tas Andre yang digeletakkan begitu saja di sebelah kursi lipat. Dimasukkannya kotak kecil yang ia bawa ke dalam tas. “Aku udah nggak tahan ngelihat mereka heboh begitu seminggu ini. Dasar pasangan alay!” gerutunya. “Eh, surat permintaan maafnya udah dimasukin juga kan?”

Moni juga melakukan hal yang sama di tas Farah, lalu sambil mengembuskan napas keras-keras, ia bergumam, “Setuju! Lama-lama aku risih juga dibaweli Farah tiap hari.”

“Ya udah. Ini notanya,” ucapku sambil menyodorkan sehelai potongan nota. “Kalian aja yang nanti minta uang ganti ke bendahara kelas.”

“Oh, jadi kita minta uang ganti ya?”

Moni menyahut cepat, “Ya iyalah... Biar gimana, ini kan proyek kelas. Gara-gara mereka ribut, kita semua yang jadi korban dibaweli nggak jelas sama Farah.”

Tiara ikut mendekat, ingin melihat nota itu lebih jelas. “Jadi, dua kotak singkong tadi harganya dua belas ribu?!” Ia berteriak histeris.

“Yeee, yang aku masukin ke tasnya Andre kan pakai keju, Ra...”

“Pakai keju kek, apa kek, singkong ya tetep aja singkong!”

***

Sore harinya...

Loading for Facebook...

10+ status baru!

An Dre :

Dear Farah, maaf ya... Sekarang aku tahu kalau singkong nggak selalu harus jadi singkong.

 

 

Fa Rah :

Maafin aku ya, An Dre. Singkong keju ternyata emang tetep singkong. Love you...

Tiara dan Moni spontan bergidik, “Dasar pasangan alay!”

 

Malang, September 2014

Post a Comment

0 Comments