Blurb:
Love suffers long and is kind;
Love does not envy; love does not parade itself, is not puffed up;
Does not behave rudely, does not seek its own, is not provoked, thinks no evil;
Does not rejoice in iniquity, but rejoices in the truth; bears all things, believes all things, hopes all things, endures all things.
Love never fails.
(1 Corinthians
13:4-8)
Love suffers long and is kind;
Love does not envy; love does not parade itself, is not puffed up;
Does not behave rudely, does not seek its own, is not provoked, thinks no evil;
Does not rejoice in iniquity, but rejoices in the truth; bears all things, believes all things, hopes all things, endures all things.
Love never fails.
***
Sudah hampir
satu tahun berlalu sejak kali pertama saya membaca (terjemahan) novel berjudul Didi ini, tapi sampai sekarang saya tetap menangis tiap membaca ulang. Gimana,
ya, kisah-kisah bertema keluarga memang nggak ada matinya. Saya mulai menyadari
ini sejak membaca novel Matryoshka-nya
Ghyna Amanda dan dibikin jatuh cinta setengah mati. (Saya akan bikin resensinya
juga setelah ini)
Didi
adalah
sebuah novel yang mengambil latar tempat di Tiongkok, dan wabil khusus saya asumsikan Beijing, karena insiden 4 Juni 1989 di
Lapangan Tiananmen merupakan salah satu bagian besar dari alur cerita. Novel
ini bercerita tentang dua anak laki-laki bernama Xu Ping dan Xu Zheng, serta perjuangan
mereka menjalani kehidupan dalam kurun waktu tahun 1980-an sampai tahun 2000-an.
Fyi, hanzi 弟弟 yang
menjadi judul novel ini artinya adik
laki-laki.
Sumber: klik di sini. |
Oh ya, buat kamu
yang mungkin kurang familiar dengan Insiden Tiananmen 4 Juni 1989, saya
ceritakan sedikit menurut apa yang saya ketahui, ya. Intinya, tahun 1989, terjadi
demonstrasi besar-besaran terhadap Partai Komunis Tiongkok. Demonstrasi ini dilakukan
oleh beberapa organisasi masyarakat dan mahasiswa Tiongkok untuk menuntut penerapan
pemerintahan yang demokratis di Tiongkok. Tuntutan ini pada akhirnya menjadi
berlarut-larut hingga beberapa bulan dan bahkan bereskalasi menjadi aksi mogok
makan yang berakibat jatuhnya banyak korban sipil. Singkat kata, pemerintah
kewalahan menangani aksi demonstrasi ini hingga akhirnya mereka menerapkan
status darurat militer pada tanggal 3 Juni 1989 (betewe terjemahan bahasa Inggrisnya menuliskan martial law, yang saya terjemahkan menjadi istilah “darurat militer”,
cmiiw).
Ketika pasukan
militer dikerahkan ke lokasi demonstrasi, diperkirakan ribuan hingga ratusan
ribu nyawa melayang sia-sia pada kerusuhan tersebut. Kejadian ini dianggap
sebagai salah satu “dosa besar” Pemerintah Tiongkok dan kabarnya belum ada
kejelasan bahkan hingga saat ini. Dari informasi-informasi yang pernah saya
baca pun, kabarnya Pemerintah Tiongkok terkesan menutup-nutupi insiden ini dari
masyarakat sehingga generasi milenial Tiongkok jaman now pun nggak tahu banyak kalau ditanya tentang peristiwa yang
terjadi pada 4 Juni 1989.
Salah satu foto populer Insiden 4 Juni 1989.
"Tank Man", foto karya Jeff Widener. Sumber: klik di sini. |
Kurang-lebih
intinya begitu. Sekarang, kita lanjut membahas novelnya, ya.
Xu Ping adalah
kakak kandung Xu Zheng, sekitar empat tahun lebih tua. Pada awal 1980-an, ayah
mereka, Xu Chuan, sedang meniti karirnya sebagai aktor. Ibu kandung Xu bersaudara
sudah meninggal dunia sejak mereka masih kecil, sehingga setiap sang ayah
syuting berhari-hari, Xu Zheng diurus oleh Xu Ping di rumah. Pada usia dua
belas tahun, Xu Ping diceritakan sudah sangat terampil mengurus rumah dan
adiknya, serta merupakan siswa teladan di sekolah dengan prestasi cemerlang.
Satu hal yang
tidak bisa diterima oleh Xu Ping kecil adalah kenyataan bahwa adiknya ternyata “tidak
normal”. Xu Zheng memiliki gejala autisme yang membuatnya kesulitan menjalani
interaksi dengan orang lain. Sebelum akhirnya masuk ke sekolah untuk anak
berkebutuhan khusus pun, Xu Zheng sebenarnya pernah bersekolah di sekolah yang
sama dengan sang kakak—yang tentu saja membuat Xu Ping menderita karena setiap
hari ia dihina oleh teman-temannya. Xu Ping sangat membenci adiknya dan semua
perhatian yang diberikannya pada Xu Zheng semata-mata hanya untuk ditunjukkan
pada sang ayah.
Suatu ketika,
setelah pertengkaran yang cukup serius, Xu Ping berkata dengan marah kepada
adiknya untuk “enyah”, “mati saja”, “aku tidak ingin punya adik sepertimu”, dan
“jangan pernah kembali”. Di luar dugaan, Xu Zheng benar-benar menuruti perintah
itu lalu kabur dari rumah selama hampir satu bulan lamanya sebelum akhirnya diantar
pulang oleh seorang polisi. Kejadian itu membuat Xu Ping sangat menyesal dan ia
bertekad akan menyayangi Xu Zheng seumur hidupnya.
Setalah itu,
cerita berlanjut ke masa lima-enam tahun kemudian, yaitu tahun 1989 di mana Xu
Ping diceritakan sudah duduk di kelas tiga SMA dan sedang mempersiapkan diri
untuk ujian masuk perguruan tinggi. Semua orang menaruh harapan tinggi pada Xu
Ping karena selama ini ia punya rekor yang sempurna. Di sisi lain, meskipun
sang ayah mendukung ia sepenuhnya, Xu Ping masih ragu-ragu untuk mendaftar ke
perguruan tinggi yang jauh dari rumah karena ia masih mengkhawatirkan Xu Zheng.
Tanpa ia sadari pun, berawal dari kebersamaan mereka yang jauh lebih dekat
daripada saudara pada umumnya, alam bawah sadar Xu Ping memiliki ketertarikan
lebih terhadap adiknya. Xu Ping selalu berusaha menyingkirkan perasaan aneh
itu, karena bagaimana pun ia tahu bahwa tidak ada satu pun yang benar dari
perasaannya: homoseksual dan inses sekaligus, pemirsa!
Pada saat itu,
Xu Ping berteman cukup akrab dengan seorang mahasiswa matematika (LOL) bernama
Huang Fan yang dahulu merupakan kakak kelasnya. Usut demi usut, Huang Fan
ternyata merupakan salah satu pimpinan utama aksi unjuk rasa, dan pada malam
hari tanggal 3 Juni 1989 ketika terjadi bentrokan besar-besaran antara
demonstran dan pasukan militer, Huang Fan menjebak Xu Ping sebagai “pemecah
perhatian” polisi sedangkan pemuda itu melarikan diri ke Hong Kong, lalu ke
Amerika—dan kemudian nantinya jadi orang kaya raya!
Iya, jahat memang.
Akibat strategi
licik itu, Xu Ping akhirnya masuk penjara karena dianggap menyembunyikan keberadaan
seorang penjahat nasional, padahal dia nggak tahu-menahu tentang behind the scene-nya demonstrasi itu.
Kehidupan Xu Ping pun menjadi berantakan dalam sekejap mata: pendidikannya,
kepercayaan ayahnya, dan semuanya. Setelah keluar dari penjara, ia juga kesulitan
mencari pekerjaan dengan statusnya sebagai mantan narapidana kasus demonstrasi
Tiananmen.
Ngomong-ngomong,
dari informasi yang saya himpun, orang-orang yang terlibat kasus Tiananmen ini
semacam masuk blacklist pemerintah gitu deh. Jadi, mantan narapidana kasus
ini (ya kayak Xu Ping itu) nggak bakal bisa lanjut sekolah, kuliah, cari kerja
yang layak, atau jadi pegawai institusi pemerintah. Mungkin kalau di Indonesia setara
kayak mantan anggota PKI kali ya. Intinya mereka semacam udah dilabeli “anti
pemerintah” gitu.
Hm, sedih akutu
kalau mikirin ini.
Beranjak dewasa,
dan setelah ayah mereka meninggal dunia pada tahun 2006, Xu Ping tidak
menggenggam harapan apa pun dalam menjalani hidup. Bekerja dan mengurus Xu
Zheng sudah cukup baginya. Urusan menikah yang berkali-kali diusulkan
rekan-rekan kerjanya pun selalu dia tolak dengan halus karena Xu Ping sadar bahwa
dia cuma “cangkang kosong”. Pendeknya, Xu Ping merasa dia udah “mati” sejak
hidupnya dikacaukan Huang Fan.
Keadaan semakin
memburuk ketika Xu Ping didiagnosis menderita kanker ganas. Dalam
keputusasaannya, Xu Ping memutuskan untuk mengabaikan kemungkinan pengobatan
dan malah membawa Xu Zheng berlibur di daerah pantai di tenggara Tiongkok selama
sepuluh hari dengan tujuan “untuk menikmati hari-hari terakhirnya”.
Pada hari
terakhir liburan, Xu Ping berenang di laut dan pada akhirnya dia hampir tenggelam
sebelum diselamatkan seseorang yang ternyata... tidak lain dan tidak bukan...
adalah Huang Fan! Jadi, ceritanya, Huang Fan merasa sangat bersalah atas apa
yang sudah dia lakukan pada Xu Ping dan berniat untuk menebus semua
kesalahannya dengan memberikan apa pun yang Xu Ping inginkan. Ternyata sudah
bertahun-tahun pula Huang Fan menugaskan orang untuk menguntit Xu Ping setiap
hari.
Ngeri
deh. Udah licik, stalker pula!
"Selama ini, aku tidak bisa kembali, jadi aku menyuruh orang untuk mengawasinya. Aku telah melakukan sesuatu yang mengerikan padanya, dan hal itu menghantuiku seperti mimpi buruk. Bertahun-tahun ini aku selalu berpikir aku akan berdiri di depannya ketika aku sudah punya kekuasaan, dan aku akan memohon maafnya. Aku akan memberikan apa pun yang bahkan tidak pernah dia impikan... uang, status, kehidupan..."
(Huang Fan - bab 53)
Dalam bab
terakhir novel ini, diceritakan Xu Ping yang menolak tawaran Huang Fan yang
ingin membawanya ke Amerika untuk diberi harta-tahta-wanita (LOL). Huang Fan
akhirnya menyerah dan memutuskan untuk merekrut dokter-dokter terbaik untuk menyembuhkan
Xu Ping.
***
Sinopsis
selesai. Fiuh.
Kesan pertama
saya saat pertama membaca novel ini: sempurna! Penulisnya terlalu hebat dalam
menggambarkan suasana dan karakter-karakter tokohnya sampai seolah-olah saya
merasa Xu Ping, Xu Zheng, dan Huang Fan benar-benar ada di Tiongkok sana.
Seolah-olah kalau suatu saat nanti saya bisa mengunjungi Beijing, saya bisa
bertemu Xu Ping dan memeluknya erat lalu sambil menangis haru berkata, “平哥,你太好了。You’re
so nice...”
Saya acungkan
empat jempol—dan kalau boleh saya mau pinjam jempol orang lain juga—untuk Ren
Ti Gu Jia. Betapa hubungan persaudaraan antara Xu Ping dan Xu Zheng ditampilkan
dengan dalam tapi begitu manis. Penokohannya sangat manusiawi, dengan kelebihan-kelebihan
tertentu di satu sisi, namun tidak meninggalkan sisi-sisi lain manusia seperti
rasa marah, iri dengki, benci, dan lain sebagainya.
Masa remaja Xu
Ping dan Xu Zheng juga disajikan dengan sangat menawan. Penulis mengangkat
topik-topik yang wajar di setiap bab, yang sialnya malah membuat novel ini semakin
terasa punya jiwa. Kegiatan Xu Ping memasak di dapur, kegiatan Xu Zheng
mengotak-atik komponen barang-barang elektronik, dinamika pubertas, dan hal-hal
kecil lainnya disampaikan dengan begitu apik. Xu Zheng juga dipaparkan begitu
menarik meskipun kondisi mentalnya berbeda dengan kebanyakan orang, seperti
misalnya bagaimana dia bergantung sepenuhnya pada sang kakak di satu sisi, tapi
di sisi lain selalu ingin melindungi... bagaimana dia hanya menuruti perkataan
Xu Ping... bagaimana dia bisa merasakan firasat buruk saat melihat kakaknya
berteman dengan Huang Fan... bagaimana dia cemburu, dan lain sebagainya.
"Aku tidak suka dia."
"Huh?" Xu Ping bingung. "Siapa?"
"Dia memegang-megang bahumu! Aku tidak suka dia! Tidak suka dia!" Sembari mengatakan ini, Xu Zheng mengusap-usapkan wajah pada pundak kakaknya seperti anjing yang sedang mencoba menghapus bau anjing lain yang melintasi wilayahnya.
Hal lain yang
benar-benar membuat saya terpukau adalah cara penulis mengisahkan kekalutan Xu
Ping ketika perlahan dia menyadari perasaannya terhadap Xu Zheng. Tidak seperti
beberapa novel bertema LGBT yang pernah saya baca sebelumnya (yang seolah-olah
hanya dibuat untuk mewujudkan fantasi para fujo),
novel Didi ini menempati ruang
tersendiri dalam hati saya karena penulis menggambarkan dengan detail
pergolakan batin yang dialami Xu Ping. Dia hidup di tengah masyarakat Tiongkok yang
konservatif, sementara di dalam dirinya tersimpan perasaan-perasaan yang menurutnya
tidak pantas. Dia berjuang keras melawan dirinya sendiri.
Satu hal yang
saya sayangkan, pada bab terakhir, penulis sepertinya sengaja mempermainkan pembaca
supaya semakin penasaran dengan obrolan antara Huang Fan dan Xu Ping. Di saat
semua orang berharap bisa merajam Huang Fan, penulis malah membiarkan adegannya
menggantung dengan tidak mengenakkan. Hahaha.
Ngomong-ngomong,
saking bagusnya, saya sempat berencana menerjemahkan terjemahan bahasa Inggris novel
ini ke dalam bahasa Indonesia. Beberapa bulan yang lalu, saya bahkan sempat membuat
draft email kepada Ayszhang, si
penerjemah asli yang kabarnya orang Kanada, berkaitan dengan izin untuk
menerjemahkan hasil kerjanya ke bahasa Indonesia.
Tapi saya
batalkan karena setelah saya pikir-pikir, beberapa adegan 18+ di beberapa
babnya terlalu hot. Saya nggak kuat
nulisnya. Hahaha.
2 Comments
aku baca novel ini 2 tahun lalu langsung nancap di hati. Salah satu novel the best yang pernah aku baca, soalnya bener2 realistis banget dan gak kayak novel yaoi lain yang aku baca yang selalu gitu2 aja ceritanya.
ReplyDeleteTiap kali aku mau baca ulang rasanya trauma soalnya tiap kali baca pasti bikin nangis heheh
Samaaa. Bisa ikutan sakit banget gitu, loh, bacanya. Pertama baca tuh, saya langsung baca 52 chapter dalam semalem, lalu besoknya mata langsung bengkak gara-gara begadang+mewek.
Delete